Jumat, 08 April 2011

Hukum Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil

A. PENGERTIAN KAWIN HAMIL
Perkataan ini ditetapkan dalam hukum islam sebagai التزوج باالحامل yang dapat diartikan sebagai perkawinan seorang pria dengan wanita yang sedang hamil, dalam hal ini terjadi dua kemingkinan, yaitu dihamili dulu baru kawin atau dihamili oreh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya.
Perkawinan ini berkaitan dengan beberapa persoalan hukum islam, antara lain:
a. Sah atau tidaknya akad nikah dengan wanita tersebut menurut hukum islam.
b. Boleh atau tidaknya mengumpulinya seperti layaknya suami istri.
c. Kedudukan nasab (keturunan) anak yang dilahirkannya.
Bayi yang lahir dari wanita yang dihamili tanpa dikawini terlebih dahulu, disebuat oleh ahli hukum islam sebagai istilah:
ابن الزنا (anak zina) atau ابن الملاعنة (anak terlaknat). Jadi istilah tersebut, bukan nama bayi yang lahir itu, tapi istilah yang dinisbatkan kepada kedua orang tuanya yang telah berbuat zina, atau melakukan perbuatan yang terlaknat. Sedangkan bayi yang dilahirkannya, tetap suci dari dosa dan tidak mewarisi perbuatan yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya.
B. HUKUM PERKAWINANNYA
Ada beberapa ketentuan hukum, yang dapat dikemukakan dalam pembahasan ini; antara lain Sah atau tid`aknya akad nikah dengan wanita tersebut menurut hukum islam, Kedudukan nasab (keturunan) anak yang dilahirkannya.
Ulama madzhab yang empat Sepakat menetapkan bahwa perkawinan keduanya sah, dan boleh senggama bila laki-laki itu sendiri yang menghamilinya baru ia mengawininya. Tetapi ibnu Hazm mengatakan: keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan senggama bila ia telah bertaubat dan mengalami hukum dera (cambuk); karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan pada keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang yang telah berbuat seperti itu antara lain diriwayatkan:
a. Ketika Jabir Bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan dua orang yang telah berzina, maka ia berkata boleh mengmengawinkannya asalkan keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
b. Seorang laki-laki tua mengajukan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar, lalu berkata: Hai amirul mukminin putriku telah dikumpuli oleh tamuku , dan ku inginkan agar keduanya dikawinkan ketika itu. Khalifah memerintahkan ke kepada sahabat lain untuk melakuakan hukuman dera kepadakeduanya, kemudian baru dinikahkan.
Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama;
1. Imam abu yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan berarti perkawinan itu batal (fasid). Pendapat beliau berdasarkan firman Allah SWT surat An Nur ayat 3:




•       •            
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”
Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya. Ayat tersebut diperkuat dengan hadis nabi:

ان رجل تزوج امراة فلما اصابها وجدها حبلي, فرجع ذلك الي النبي صلي الله عليه وسلمو ففرق بينهما وجعل لها الصداق وجدها مائة

“Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinya ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.
Ibnu Qudaimah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:
• Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil, jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
• Wanita tersebut telah manjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
2. Imam Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinan itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadis:
لا تؤطأحاملاحتي تضع

Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandungannya).
3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan orang lain (tidak ada masa iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak diluar nikah).

Dalam Minhajul Muslim. Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat:

Pertama; Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya. karena Allah SWT telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Allah berfirman: “ Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu’min.”
Syaikh Al-Utsaimin berkata:Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.
Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
Artinya:
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan orang-orang yang membuat syari’at bagi hamba-hambaNya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik. Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.
Kedua : Dia harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda : “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra dengan satu kali haid.
Di dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Juga sabdanya Shallallaahu alaihi wa Sallam: Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.
Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahinya sampai dia taubat dan selesai dari iddahnya dengan melahirkan kandungannya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram. Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan: Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menunggu wanita itu beristibra dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra. terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan, yaitu sebagai berikut :
1. Pendapat yang menghalalkan
Hal ini merupakan pendapatkan dari jumhur fuqohaq’(mayoritas ahli fiqh), mengatakan bahwa yang difahami dari QS.An-Nur bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang berzina
C. HUKUM BAYI YANG DILAHIRKAN
Bayi zina dalam hal ini jika perempuan saat dewasa dan ingin menikah maka maka ayah yang mengawini ibunya tidak dapat menjadi wali, melainkan hakim saja yang bisa menjadi wali.
menurut status anak itu adalah sebgai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya itu pria yang menghamilinya, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
1. Bayi itu termasuk anak zina bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan keatas, bila kurang dari 4 bulan maka bayi itu adalah anak suaminya yang sah.
2. Bayi itu termasuk anak zina karena anak itu adalah anak diluar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma bapak dan ovum ibunya itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar