Selain Indonesia, WikiLeaks menyibak sejumlah rahasia pemimpin dunia.
VIVAnews-Laporan dua media Australia The Age dan Sydney Morning Herald pada Jumat, 11 Maret 2011 itu, membuat pemerintah di Indonesia Jakarta berang. Bak aliran ombak, berita bersumber dari bocoran situs WikiLeaks itu dengan deras dilansir kembali oleh media di tanah air. Disebutkan di dua media itu, mengutip kawat diplomatik Kedutaan Amerika Serikat yang bocor ke WikiLeaks, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah “menyalahgunakan kekuasaan” untuk kepentingan pribadi. Sejumlah nama tokoh lainnya juga disinggung semisal mantan Wapres Jusuf Kalla, Ibu Ani Yudhoyono, TB Silalahi, dan lain-lain.
Indonesia, sebetulnya bukan baru tersentil oleh WikiLeaks. Desember silam, pemerintah masih dingin bersikap, meski ada kemungkinan bocornya memo rahasia diplomatik Amerika Serikat bakal menyinggung Indonesia. “Mengenai kemungkinan adanya isi dokumen yang melibatkan Indonesia, pemerintah Indonesia tak akan menanggapi,” ujar juru bicara Kemlu, Michael Tene, di Jakarta, 3 Desember 2010.
Bocoran soal Indonesia di WikiLeaks, pernah pula dirilis dua surat kabar Australia itu. Antara lain menyinggung Kopassus, Tommy Soeharto, dan Badan Intelijen Negara. Pejabat Indonesia saat itu masih tenang. "Informasi itu tak bisa diverifikasi. Jadi kita tetap tak memberi tanggapan data diklaim sebagai bocoran ke media massa itu," kata juru bicara kepresidenan, Teuku Faizasyah, Jumat 17 Desember 2010.
Tampaknya, reaksi atas berita dirilis dua koran Australia Jumat lalu itu berbeda. Jakarta berang. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa bahkan memanggil Duta Besar AS, Scot Marciel, ke Kementrian Luar Negeri di Pejambon, Jakarta, 11 Maret 2011. Menteri Marty meminta Dubes AS menjelaskan data yang bocor ke WikiLeaks itu.
Indonesia, kata Marty, protes dan menuntut klarifikasi atas informasi itu. Natalegawa juga melayangkan protes kepada Sydney Morning Herald dan The Age karena begitu saja mempublikasikan bocoran dari WikiLeaks. "Informasi itu sama sekali tidak berdasar dan tidak mengandung kebenaran sedikit pun, bahkan tidak masuk akal," kata Natalegawa usai pertemuan dengan Dubes Marciel.
Amerika Serikat tentu saja rikuh. Dubes Scot Marciel di Jakarta memahami protes pemerintah Indonesia itu. Marciel menyampaikan keprihatinannya, termasuk kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Dokumen tersebut tidak mewakili sikap AS. WikiLeaks sangat tidak bertanggungjawab atas hal ini," kata Marciel.
Tsunami dokumen rahasia
Selain Indonesia, WikiLeaks sebetulnya telah membuat gusar banyak pemimpin negara. Situs yang memuat bocoran politik digerakkan Julian Assange, mantan peretas (hacker) asal Australia itu, menghimpun sekitar 251.000 dokumen memo diplomatik AS dari sekujur dunia.
Sejak 28 November 2010, WikiLeaks bergerilya menyiarkan dokumen itu. Mereka menyebarkannya melalui internet, Twitter, dan sebagian melalui media massa di Eropa dan Australia, yang secara eksklusif diberi akses pertama. Dampaknya, berita bocoran yang diungkap ke publik itu, bak tsunami menghantam tembok rahasia para penguasa.
Isi memo itu adalah semacam laporan pengumpulan informasi dari berbagai kontak Kedutaan AS di negeri setempat. Di Indonesia, misalnya, Duta Besar AS Scot Marciel, mengatakan sebagai diplomat mereka harus membuka wawasan dan kontak dengan siapapun. “Tak hanya pejabat pemerintah setempat, Tapi juga cendekiawan, jurnalis, politisi, masyarakat awam dan lain-lain. Kami berbicara dan bertukar pikiran atas segala hal yang menjadi perhatian masing-masing pihak,” kata Marciel, beberapa waktu lalu.
Hasil tukar pikiran itulah, yang menjadi salah satu bahan laporan bagi Kedubes AS. “Kami mengirim laporan kepada kantor pusat [Washington DC], seperti banyak kedutaan besar negara lain kepada pemerintah mereka, mengenai situasi di negara tuan rumah,” kata Marciel, yang telah seperempat abad berkarir sebagai diplomat, dan telah bertugas di tujuh negara.
Kebijakan luar negeri AS, menurut pernyataan itu, bukanlah berdasarkan laporan mentah yang dibocorkan WikiLeaks, tepi segalanya diputuskan di Washington DC. "Kebijakan kami adalah catatan publik, seperti yang direfleksikan dalam pernyataan dan tindakan kami di penjuru dunia," demikian pernyataan Kedubes AS.
Pemerintah AS sendiri tak bersedia membenarkan informasi itu. Mereka hanya mengutarakannya secara tersirat. Deplu AS tidak mengomentari materi apapun, termasuk dokumen berkatagori rahasia, yang "mungkin telah dibocorkan," demikian pernyataan Kedubes AS.
Bagi kalangan pengamat, WikiLeaks memberi dimensi baru bagi jurnalistik. Didukung teknologi informasi yang makin canggih, siapa pun bisa mengungkap dan mengakses informasi yang sangat sensitif . "WikiLeaks adalah jurnalisme gaya baru, cerminan dari globalisasi," kata kolumnis The National Post, Diane Francis, dalam kolom di harian The Huffington Post.
"Benar atau salah, WikiLeaks telah mempertunjukkan suatu layanan publik dengan mengekspos kecerobohan pemerintah dalam era digital atau sikapnya yang menutup-nutupi rahasia mengenai negara-negara lain yang mana publik berhak untuk tahu," kata Francis.
Di lamannya, WikiLeaks menuliskan organisasi itu punya tujuan mulia: menciptakan keterbukaan. “Transparansi menciptakan kehidupan lebih baik bagi semua masyarakat. Pengawasan yang baik akan mengurangi korupsi dan memperkuat demokrasi di semua institusi sosial, termasuk pemerintahan, perusahaan dan organisasi lainnya,” tulis WikiLeaks di situsnya.[Baca juga cara WikiLeaks bekerja: Gerilya Si Pembocor Rahasia Dunia]
Menurut Francis kesalahan terletak pada pemerintah AS sendiri, yang selama ini cenderung membuat segalanya mudah diakses. "Bahkan walau ada kontrol ketat atas informasi sangat rahasia, pemerintah tidak bisa mengendalikan kebocoran," ujar Francis.
Gara-gara sepak terjang WikiLeaks, kejelekan sejumlah pemimpin pun terungkap. Sejumlah laporan memberi ungkapan, maupun kesan tidak enak didengar untuk beberapa pemimpin. Putin disebut sebagai "anjing alpha" dan Presiden Hamid Karzai dari Afganistan terkesan "digerakkan oleh paranoia."
Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya, dinilai "menghindari risiko dan jarang kreatif." Sementara itu, pemimpin Libya, Muammar Khadafi, dilaporkan berjalan-jalan dengan seorang suster "blonde menggairahkan" asal Ukraina
Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, turut menjadi korban pembocoran WikiLeaks. Laman itu memuat informasi bahwa Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, pernah membuat pemerintah Arab Saudi tersinggung, saat diundang mengunjungi kerajaan itu dua tahun lalu.
Menurut harian Inggris, Guardian, laporan itu mengungkapkan Sarkozy pernah membuat gara-gara dengan Saudi saat diundang berkunjung pada Januari 2008. Kunjungan itu untuk mempererat hubungan personal antara Sarkozy dengan Raja Abdullah.
Sebuah memo dari Kedubes AS di Riyadh melaporkan sejumlah kontak di Saudi tak senang atas perilaku Sarkozy. Antara lain, keinginan Sarkozy untuk mengajak tunangannya saat itu, Carla Bruni. Di Arab Saudi, lelaki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan dilarang berjalan bersama. Bruni akhirnya tak jadi ikut.
Tiba di Saudi, tulis memo itu, Sarkozy tampaknya ngambek. Dia dilaporkan kurang menghargai tuan rumah. Dia enggan mencicipi makanan tradisional Arab yang dihidangkan. Selain itu, Sarkozy juga tampak bosan saat mengikuti upacara penyambutan tamu negara yang disiarkan di televisi.
Tidak hanya di Saudi, WikiLeaks juga membocorkan memo Kedubes AS di Rabat, Maroko. Sikap Sarkozy di Maroko, saat melawat pada Oktober 2007, juga diungkap. Pada memo itu, Sarkozy dikatakan terlalu santai atau tidak bersikap seperti negarawan, saat mengikuti acara resmi.
“Sarkozy duduk terlalu santai di kursinya saat dia dan raja Maroko menghadiri upacara penandatanganan kesepakatan di istana negara di Marrakech. Pada salah satu kesempatan, Sarkozy bahkan menyilangkan kakinya dan menunjukkan sol sepatunya kepada raja. Ini adalah tindakan tabu,” tulis memo tersebut.
Argentina dan presidennya turut menjadi bulan-bulanan WikiLeaks. Argentina dianggap tak becus mengatasi praktik pencucian uang hasil kejahatan terorganisir di negara itu. Bahkan Presiden Cristina Fernandez digosipkan mengkonsumsi obat penenang, dan seorang pejabat tinggi di negara itu disinyalir terkait penyelundup obat terlarang.
Informasi itu dibocorkan WikiLeaks, yang memuat sejumlah informasi rahasia, yang diklaim memo diplomatik dari Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Buenos Aires setahun lalu. Menurut kantor berita Associated Press, yang memantau bocoran WikiLeaks, laporan-laporan ke Washington DC itu berkatagori rahasia.
Di Argentina, bocoran itu mendapat perhatian besar dari sejumlah media. Pada edisi Kamis, 2 Desember 2010, misalnya, sejumlah surat kabar oposisi Argentina mengulas memo dari Kedubes AS, tertanggal 1 Desember 2009.
Memo itu adalah laporan upaya Argentina memerangi pencucian uang. Kesimpulan laporan itu: Argentina rentan jadi sasaran eksploitasi para penyelundup narkoba, dan sel-sel teroris. Soalnya, nyaris tak ada penegakan hukum, lalu budaya impunitas dan korupsi juga marak.
Kedubes AS juga menyarankan Washington agar jangan berharap banyak kepada pemerintah Argentina atas isu pencucian uang. Termasuk kepada Presiden Cristina Fernandez dan suaminya, mantan Presiden Nestor Kirchner yang wafat pada Oktober lalu. Mereka berdua dianggap punya kekayaan dari bisnis real estate. Sejumlah hakim pengadilan menolak memproses perkara itu, meski sudah berulangkali dilakukan penyelidikan.
"Sejumlah kontak Kedubes menilai pemerintahan saat ini, termasuk presidennya, tidak mampu berbuat optimal dan jujur mengusut pencucian uang," demikian salah satu kutipan memo itu.
"Kemungkinan besar tidak realistis berharap GoA [pemerintah Argentina] akan mendukung aparat kejaksaan, atau berupaya mengejar pelaku pencucian uang. Pasangan Kirchner dan lingkar dekat mereka mengambil banyak keuntungan dari kurangnya penegakan hukum," lanjut laporan itu.
Bocoran memo bertanggal 31 Desember 2009, misalnya, berupa instruksi kepada Kedubes AS mencari tahu apakah Presiden Cristina Fernandez mengonsumsi obat mengendalikan kondisi mentalnya. Memo lain, tertanggal 10 September 2009, memaparkan kecurigaan pejabat kepala kabinet Argentina punya hubungan dengan pengedar obat terlarang.
Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, juga dibuat marah atas pembocoran dari WikiLeaks. Ini terkait komentar seorang diplomat senior AS atas dirinya. Komentar mantan Duta Besar (Dubes) AS untuk Turki itu tertulis dalam suatu memo rahasia, yang bocor ke laman WikiLeaks.
Dalam dokumen diplomatik AS tertanggal 12 Desember 2004, saat masih menjadi Dubes untuk Turki, Edelman menulis memo mengenai Erdogan. Saat itu, Erdogan baru menjadi Perdana Menteri Turki dan mengundang kegelisahan negara-negara Barat karena sikapnya yang "cenderung Islami."
Dalam laporan ke Washington, Edelman mengatakan Erdogan dipandang sebagai pemimpin haus kekuasaan, bersikap otoriter, dan tidak percaya pihak lain. Edelman juga mengritik para penasihat Erdogan. "Dia seenaknya melontarkan prasangka pro-Sunni, dan dengan reaksi emosional. Akibatnya menghambat perkembangan kebijakan domestik atau luar negeri," tulis memo itu, yang dibocorkan WikiLeaks.
Edelman lalu menyinggung sejumlah rekening bank yang dicurigai. "Kami dengar dari dua kontak bahwa Erdogan memiliki delapan rekening bank di Swiss. Penjelasan bahwa kekayaan itu adalah hadiah pernikahan dari para tamu kepada putranya, dan seorang pengusaha Turki menanggung biaya pendidikan bagi seluruh keempat anaknya di AS, benar-benar payah," tulis memo itu.
Reaksi keras
Para pemimpin yang menjadi subyek laporan diplomatik AS yang dibocorkan WikiLeaks itu sempat bereaksi emosional. Tapi itu cuma sebentar. Tak ada tindak lanjutnya.
Reaksi PM Erdogan di Turki, misalnya, yang pernah mengancam akan menggugat pemerintah AS secara hukum terkait komentar seorang diplomat senior AS atas dirinya yang bocor di WikiLeaks. "Amerika Serikat harus menuntut penjelasan dari para diplomatnya, karena tak dibenarkan bagi diplomat menuduh suatu negara dengan fitnah," kata Erdogan seperti dikutip laman stasiun televisi CNN.
Namun, ancaman Erdogan itu hingga kini tak terwujud. Bahkan, Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu, mengatakan bocoran tersebut tidak akan mempengaruhi hubungan Turki dengan AS. “Bocoran itu tak akan mengubah prinsip dasar kebijakan luar negeri Turki,” ujar Davutoglu usai pertemuannya dengan Menlu AS Hillary Clinton di Ankara, 1 Desember 2010.
Di Prancis, tidak ada reaksi emosional dari istana kepresidenan maupun Sarkozy sendiri. Juru bicara pemerintah, Francois Baroin, pada November 2010 mengatakan mereka telah mengetahui dokumen itu sebelum dibocorkan di WikiLeaks. Tak ada protes dan permintaan pertanggungjawaban, Baron hanya mengatakan Prancis mendukung AS menjaga kerahasiaan kabel diplomatiknya.
Selain itu, bocoran WikiLeaks terkait pemimpin Jerman juga dianggap pemerintah setempat tidak akan merusak hubungan kedua negara. ”Hubungan kedua negara kuat, dekat, dan tidak akan terganggu dengan publikasi tersebut,” ujar Kanselir Jerman, Angela Merkel, November tahun lalu.
Tapi tak bisa disangkal bocoran dokumen menyatakan Kanselir Jerman, Angela Merkel, dinilai "menghindari risiko dan kurang kreatif” telah mengurangi kepercayaan Jerman terhadap AS. “Diplomasi, haruslah didasari atas asas saling peraya, dan jika kepercayaan rusak, seperti sekarang, maka kita harus kembali ke awal lagi,” ujar mantan Dubes AS untuk Jerman, John Kornblum.(np)
sumber : http://sorot.vivanews.com/news/read/209048-tsunami-wikileaks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar