Sabtu, 27 Agustus 2011
Sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia Masa Pemerintahan Megawati
Pada masa Megawati perkembangan ketenagakerjaan hampir tidak tampak gebrakannya,justru yang banyak adalah kasus ketenagakerjaan yang mengambang dan kurang mendapat perhatian.
Contohnya adalah masalah pemulangan TKI dari Malaysia serta revisi dari UU No. 25 Tahun 1997 yang berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2003 dan berakhir dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tanggal 25 Maret 2003 oleh Megawti Soekarno Putri.
Selain itu, terdapat fenomena menarik daro demo yang dilakukan antara buruh bersama-bersama dengan majikan tentang kenaikan tarif dasar telepon, listrik, dan air. Serta penolakan serikat pekerja PT Indosat atau privatisasi BUMN yang dianggap menjual aset negara. Catatan negatif pada masa ini adalah penangkapan aktivis demonstran. Terhadap hal ini ada pandangan yang mengatakan bahwa megawati telah melupakan cara bagaimana ia dapat menduduki kursi kepresidenan dengan melalui demonstrasi.
Politik hukum Megawati yang dapat diraskan langsung dampaknya setelah tragedi bom Bali di dunia ketenagakerjaan adalah banyaknya hari libur. Dampak negatif bom Bali sangat terasa pada perekonomian bangsa. Investor asing banyak yang meninggalkan Indonesia karena tidak terjaminnya keamanan negara ditambah lagi tragedi Bom Marriot. Hal ini ternyata berakibat pada politik hukum ketenagakerjaan Megawati, yaitu memulihkan sektor pariwisata sebagai inti dari peningkatan perekonomian bangsa.
Untuk menunjang pemulihan sektor pariwisata. Perlu kebijaksanaan politik dengan pengalihan hari libur ke hari yang lainnya sebelum dan sesudahnya. Dampak negatif dari banyakanya hari libur ini misalnya, terkesan bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemalas bekerja. Lebih menyenangi banyak hari libur nasional.
Di samping itu, dalam hubungan bisnis antarnegara ternyata merepotkan dunia usaha. Di negara lain bekerja, di Indonesia jatuh hari libur nasional dan hal ini dapat menghambat terjadinya transaksi dagang. Ada kekhawatiran bagaimana seandainya kebijaksanaan pengalihan hari libur ditiadakan sementara masyarakat sudah terbiasa dengan jumlah hari libur yang banyak, apakah tidak mungkin akan mendukung terciptanya etos kerja yang rendah dari bangsa Indonesia semakin parah.
Sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), politik hukum ketenagakerjaan tampaknya meneruskan BJ Habibie dengan penerapan demokrasi dezgan adanya UU No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/ Serikat Buruh. Sayangnya masyarakat indonesia masih belum matang untuk berdemokrasi, sehingga dengan sangat banyknya jumlah serikat pekerja di Indonesia justru membuat hubungan industrial semakin buruk.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia menciptakan musuh monumental dan beliaulah yang menggiring persatuan tersebut, ketegangan dianggap kemesraan setelah kersahan itu terlewati.
Sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia masa Pemerintahan Baharudin Jusuf Haibie
Masa Pemerintahan Baharudin Jusuf Haibie
Di masa pemeritahan BJ Habibie sebagai reaksi adanya reformasi dengan mundurnya Soeharto. Politik hukum dibidang ketenagakerjaan ditekankan pada peningkatan kepercayaan luar negeri kepada Indonesia bahwa Indonesia bahwa Indonesia dapat mengatasi problem negaranya sendiri tanpa menindas Hak Asasi Manusia (HAM) serta mempunyai andil besar dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia.
Karena tekanan dari luar negeri maka indonesia dengan terpaksa meratifikasi Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and Eliminate the Worst Forms of Child Labour (tindakan segera untuk menghapus dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000). Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah Indonesia telah mengakui memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa tahanan ini tahanan politik banyak yang dibebaskan.
Di masa pemeritahan BJ Habibie sebagai reaksi adanya reformasi dengan mundurnya Soeharto. Politik hukum dibidang ketenagakerjaan ditekankan pada peningkatan kepercayaan luar negeri kepada Indonesia bahwa Indonesia bahwa Indonesia dapat mengatasi problem negaranya sendiri tanpa menindas Hak Asasi Manusia (HAM) serta mempunyai andil besar dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia.
Karena tekanan dari luar negeri maka indonesia dengan terpaksa meratifikasi Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and Eliminate the Worst Forms of Child Labour (tindakan segera untuk menghapus dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000). Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah Indonesia telah mengakui memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa tahanan ini tahanan politik banyak yang dibebaskan.
Minggu, 21 Agustus 2011
Sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia Masa Pemerintahan Soeharto
Masa Pemerintahan Soeharto
Pada masa pemerintahan soeharto keadaan indonesia sudah lebih baik, politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka ditetapkanlah Repelita. Sayangnya sejalan dengan perkembangan waktu, dalih pembangunan ekonomi akhirnya menjurus pada tindakan penguasa yang sewenang-wenang.
Sebagai contoh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis[1], pengerahan TKI keluar negeri pada masa Soekarno, yaitu berdasarkan Pasal 2 TAP MPRS No. XXVIII/MPRS-RI/1966, yaitu segera dibentuk undang-undang perburuhan mengenai penempatan tenaga kerja. Selama masa pemerintahan Soeharto, ketentuan ini tidak pernah direlaisasi. TAP MPRS No. XXVIII/MPRS-RI/1966 sudah dicabut pada masa pemerintahan Soeharto. Sebagai kelanjutan berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas pemerintah untuk mengatur penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif.
Tugas tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan perturan perundang-undangan. Akibatnya pengerahan TKI tidak berdasarkan undang-undang, tetapi cukup dengan praturan/ keputusan menteri tenaga kerja saja, sehingga tingkat perlindungan hukumnya kurang, jika dibandingkan dengan undang-undang. Selain itu untuk mensukseskan pembangunan ekonomi maka investor yang tidak lain adlah majikan mempunyai kedudukan politisyang kuat dengan penguasa, contihnya kasus monopoli dan subsisdi khusus indomie.
Kedudukan buruh makin lemah dengan dalih hubungan Industrial Pancasila, hak buruh dikebiri dengan hanya mendirikan satu serikat buruh pekerja, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), serta apabila ada masalah hubungan industrial majikan dapat dibantu oleh militer (Permenaker No. Per.342/Men/1986). Kasus yang membutuhkan perhatian hingga saat ini adalah terbunuhnya aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo.
[1] Asri Wijayanti, 2000, Perjanjian Kerja sebagai Pencerminan Perlindungan Hukum di Bidang Reproduksi bagi Buruh Migrant Wanita Indonesia, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Airlangga, hlm. 9-13.
sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia Masa Pemerintahan Soekarno
Masa Pemerintahan Soekarno
Pada masa pemerintahan soekarno tidak banyak terdapat kebijaksanaan tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa mempertahankan wilayah NKRI dari jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum sebagian besar dengan cara menerjemahkan peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan atau penyesuaian.
Meskipun demikian, justru produk hukum dimasa pemerintahan Soekarno lebih menunjukkan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang baik, yaitu hukum yang baik yang berlaku samapai 40 atau 50 tahun mendatang. Dari pada hukum yang sekarang ini (contohnya: UU No. 25 Tahun 1997, Kepnaker No. Kep. 150/Kep/2000).
sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia Masa Pendudukan Jepang
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang muai tanggal 12 Maret 1942, pemerintah militer jepang membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera yang dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur.
Politik hukum masa penjajahan Jepang, ditetapkan untuk memusatkan diri bagaimana dapat mempertahankan diri dari serangan sekutu, serta menguras habis kekayaan Indonesia untuk keperluan perang Asia Timur Raya.
Pada masa ini diterapkan romusya dan kinrohosyi. Romusa adalah tenaga kerja sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang dikerahkan di Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan dari Riau sekitar 100.000 orang. Romusya lokal adalah mereka yang dipekerjakan untuk jangka pendek disebut kinrohosyi.
baca juga:
Pada masa pendudukan Jepang muai tanggal 12 Maret 1942, pemerintah militer jepang membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera yang dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur.
Politik hukum masa penjajahan Jepang, ditetapkan untuk memusatkan diri bagaimana dapat mempertahankan diri dari serangan sekutu, serta menguras habis kekayaan Indonesia untuk keperluan perang Asia Timur Raya.
Pada masa ini diterapkan romusya dan kinrohosyi. Romusa adalah tenaga kerja sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang dikerahkan di Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan dari Riau sekitar 100.000 orang. Romusya lokal adalah mereka yang dipekerjakan untuk jangka pendek disebut kinrohosyi.
baca juga:
Jumat, 19 Agustus 2011
sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia Masa Penjajahan Hindia Belanda
Masa Penjajahan Hindia Belanda
Masa ini sebenarnya tidak untuk seluruh wilayah indonesia karena pada saat ini masih ada wilayah kekuasaan raja di daerah yang mempunyai kedaulatan penuh atas daerahnya. Pada masa ini meliputi masa pendudukan Inggris, masa kerja rodi dan masa poenale sanctie. Tahun 1811-1816, saat penddukan inggris dibawah Thomas Stamford Rafales, ia mendirikan The Java Benevolent Institution yang bertjuan menghapus perbudakan. Cita-cita itu belum sampai terlaksana karena kemudian inggris ditarik mundur.
Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda mengingat untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan rempah-rempah dan perkebunan. Untuk kepentinagan politik imperalismenya, pembangunan saran dan prasaran dilakukan dengan rodi. Contohnya,Hendrik Willem Deandels (1807-1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunannya jalan dari Anyer ke Panaruakan (Banyuwangi).
Rodi dibagi tiga, yaitu rodi gubernmen (untuk kepentingan gubenemen dan pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan kepala desa atau pembesar Indonesia), dan rodi desa (untuk kepentingan desa).1
Rodi untuk para pembesar dan gubernemen (disebut pancen) sangat memberatkan rakyat karena penetapannya diserahkan kepada mereka. Convention no. 29 Concercing forced or compulsory labour (kerja paksa atau kerja wajib yang diratifikasi pemerintahan Hindia Belanda tahun 1933). Tidak memandang kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang lain dalam pekerjaan ketentaraan serta rodi untuk kepentingan desa sebagai yang terlarang.
Selanjutnya menurut Jan Breman2 poenal sanctie diterapkan dengan penerapan Koeli ordonantie serta agrarisch wet dalam melakukan hubungan kerja antara buruh yang bekerja di tanah pertanian dan perkebunan. Politik hukum ketenagakerjaan berkaitan erat dengan politik hukum agraria, mengungat banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di tanah pertanian.
Poenal sanctie itu bertujuan untuk mengikat buruh supaya tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak kerja . kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena setelah tanda tangan apabila brurh diperlakukan sewenang-wenang tidak dapat mengakhiri hubungan kerja.
Berdasarkan laporan Rhemrev, di luar poenal sancti, masih ada pukulan dan tendangan sesuai kehendak majikan kulit putih guna menanamkan disiplin kepada buruh kulit berwarna. Mencambuk kuli kontrak yang membangkang kadang-kadang sampai mati atau mengikat kuli perempuan di bungalo tuan kebun dan menggososk kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus tidak hanya terdapat di Deli. poenal sanctie berakhir dengan dicabutnya Kuli Ordonatie 1931/1936 dengan staatsblad 1941 No. 514 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1942.
2 Jan Breman, 1997, Koelis, Planters Enkolonial Politiek, Het Arbeidsregime op de Grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust (Menjinakakkan Sang Kuli Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 diterjemahkan oleh Koesalah Soebagya Toer), Pustaka Utama Grafiti, hlm. i-xxxviii
sejarah hukum ketenagakerjaan masa Perbudakan di Indonesia
Masa Perbudakan
pada masa ini kedaan indonesi dapat dikatakan lebih baik dari negara lain karena telah hidup hukum adat. Budak adalah milik majikan. Pengertian milik berarti menyangkut perekonomian, serta hidup matinya seseorang. Politik hukum yang berlaku pada saat ini, tergantung pada tingkat kewibawaan penguasa (raja). Contohnya pada tahun 1877, saat matiny raja Sumba, seratus orang budak dibunuh, agar raja itu di alam baka nanti akan mempunyia cukup pengiring dan pelayan. Contohnya lainnya budak yang dimiliki oleh suku Baree Toraja nasibnya lebih baik dengan pekerjaan membantu mengerjakan sawah dan ladang.
Selain itu dikenal lembaga perhambaan (pandelingschap) dan peruluran (herigheid, perkhorigheid). Iman Soepomo menggambarkan lembaga penghambaan (pandelingschap) dan peruluran (herigheid, perkhorigheid) 1 sebagai berikut lembaga lembaga penghambaan (pandelingschap). Lembaga ini terjadi bila ada hubungan pinjam meminjam uang atau bila terjadi perjanjian utang piutang. Orang yang berutang sampai saat jatuh tempo pelunasan belum bisa membayar utangnya. Pada saat itu pula orang yang berutang (debitur) menyerahkan dirinya atau menyerahkan orang lain kepada si kreditor, sebagai jaminan dan dianggap sebatas bunga utang.
Selanjutnya orang yang berutang diharuskan bekarja pada orang yang memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi utangnya. Penyerahan diri atau orang lain itu untuk membayar bunga dari utang itu bukan membayar utangnya. Keadaan ini pada dasarnya sama dengan perbudakan.
Lembaga peruluran (herigheid, perkhorigheid) terjadi setelah Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1621 menguasai Pulau Banda. Semua orang yang ada dipulau ini dibunuh dan diangkut keluar negeri sebagai budak. Yang sempat melarikan diri ada yang menjadi bajak laut. Selanjutnya tanah-tanah yang masih kosong dibagikan kepada bekas pegawai kompeni atau orang lain. Orang yang diberi kebun dinamakan perk (= ulur). kepemilikan hanya terbatas pada saat orang itu tinggal dikebun itu dan wajib tanam.
Hasil dari wajib tanam itu wajib dijual kepada Kompeni saja dengan hargayang telah ditentukan oleh Kompeni. Apabila harga yang telah ditentukan oleh kompeni. Apabila mereka pergi atau keluar dari kebun itu, ia akan kehilangan hak akan kebun itu. Wajib tanam ini kemudian menjadi bagian dari cultuurstelsel dan berlangsung hingga tahun 1863.
1 Iman soepomo, 1985, pengantar hukum perburuhan, djambatan jakarta, hlm.14-15.
Minggu, 14 Agustus 2011
“READINESS” DALAM HAL BELAJAR
“READINESS” DALAM HAL BELAJAR
1. Penertian dan Prinsip-Prinsip pembentikan Rediness
Ada orang yang mengatikan readiness sebagai kesipan atau kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu. Seseorang ahli bernama Cronbach memberikan pengertian rediness sebagaii segenap sifat atau kekkuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu.
Rediness dalam belajar melibatkan beberapa faktor yang bersama-sama membentuk rediness, yaitu:
1) Perlengkapan dan pertumbuhan fisiologi yang menyangkut kelengkapan pribadi seperti: tubuh pada umumnya, alat-alat indra dan kapasitas intelektual.
2) Motivasi yang menyangkut kebutuhan pribadi, minat dan tujuan individu untuk mempertahankan serta mengembangkan diri.
Dengan demikian, Rediness sseorang itu senantiasa mengalami perubahansetip hari sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan fisiologis dari individuserta adanya desakan-desakandari lingkungan seseorang.
Adapun prinsip-prinsip bagi perkembangan rediness adalah sebagai berikut:
1) Semua aspek pertumbuhan berinteraksi dan bersama membentuk rediness.
2) Pengalaman seseorang mempengaruhi pertumbuhan fisiologis individu.
3) Pengalaman mempunyai efek kumulatif dalam perkembangan ungsi-fungsi kepribadian individu, baik yang jasmani maupun yang rohani.
4) Apabila rediness untuk melaksanakan kegiatan tertentu terbentuk pada diri seseorang, maka saat-saat tertentu dalam kehidupan seseorang merupakan masa formatif bagi perkembanganpribadinya.
2. Kematangan Sebagai Dasar dari Pembentukan Rediness
Pengaruh kondisi jasmaniah terhadap pola tingkah laku atau pengakuan sosial sangat tergantung pada:
1) Pengakuan individu yang bersangkutan terhadap diri sendiri (self concept)
2) Pengakuan dari orang lain atau klompoknya. Masing-masing individu mempunyai sikap tersendiri terhadap keadaan fisiknya.
Perubahan jasmai merupakan bantuan “motor learning”agar pertumbuhan itu mencapai kematangan. Kematangan ataupun kondisi fisik baru akan memperoleh kematangan sosia, individu yang bersangkutan mengusahakan “social learning” (belajar berinteraksi dengan orang lain atau kelompok serta menyesuaikan diri dengannilai-nilai seerta minat-minat kelompok.
3. Ligkungan atau Kultur Sebagai Penyambung Pembentukan Rediness
Anak mengalami pertumbuhan fisik mrupaka penyumbang terpenting bagi rediness, akan tetapi kita tidak boleh melupakan, bahwa tidak tumbuh dalam kevakuman. Perkembangan mereka tergantung pada penaruh lingkungan dan kultur disamping akibat tumbuhnya pada pola jasmaniah.
Dalam perkembangan kehidupan induvidu, lingkungan yang dihadapi atau direaksi semakin luas. Meluasnya lingkungan dapat melalui beberapa cara, antara lain:
1) Perluasan paling nyata adalah dalam arah setimulasi fisik anak.
2) Manusia yang mengalami perkembangan kapasitas intelektualdan disamping itu pemikirannya meningkat, maka dalam hidupnya banyak terjadi perubahan lingkungan.
3) Akibat dari keadaan No. 2) diatas, terjadilah perubahan lingkungan didalam kemampuan individumembuat keputusan.
Teori-Teori Tentang Intelegensi
Teori-Teori Tentang Intelegensi
a) Teori Uni-Factor
Dikemukakan oleh Wilhelm Stem pada tahun1911. Menutut teori ini, intelegensi merupakan kapasitas atau kemempuan umum, karena itu cara kerja intelegensi juga bersifat umum.
b) Teori Two-Factor
Dikemukakan oleh Charles Sepearman pada tahun 1904. Ia mengembangkan tepri intelegensi berdasarkansuatu faktor mental umum yang diberi kode “g”serta faktor-faktor sepesifik yang diberi tanda “s”. Faktor “g” mewakili kekuatan mental umum yang berfungsi dalam setiap tingkah laku mental individu. Sedangkan faktor “s” menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi permasalahan.
c) Teori Multi Factor
Dikembangkan oleh E. L. Throndike. Menurut teori ini, intelegensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara stimulus dan respon. Hubungan-hubugan inilah yang mengarahkan tingkah laku individu.
d) Teori Sampling
Dikemukaka oleh G. H. Thomson pada tahun 1916. Menurut teori ini, intelegensi merupakan berbagai kemampuan sampel, karena dunia berisikan berbagai pengalaman yang terkuasai oleh pikiran manusia tetapi tidak semuanya. Masing-masing bidang hanya terkuasai sebagian-sebagian saja dan ini mencerminkankemampuan mental manusia.
Sabtu, 13 Agustus 2011
Teori belajar dari Psikologi Behavioristik
Teori belajar dari Psikologi Behavioristik
Psikologi aliran behavioristik mulai berkembang sejak lahirnya teori-teori belajar yang dipelopori oleh Throndike, Pavlov, Watson, dan Guthire. Mereka masing-masing telah telah mengadakan penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang berharga mengenai hal belajar. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reword) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan dengan demikian tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan setimulusnya.
· Skinner’s Operant Conditioning
Skinner menganggap “reword” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinerberpendapat bahwa tujuan pesikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku.
Skiner membagi dua jenis respon dalam belajar yakni:
1. Respondent : respon yang terjadi karena stimulus khusus, misalnya pavlov.
2. Operan : respon yang terjadi karena stimulus random.
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respon-respon terhadap setimulus. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap setimulus, guru tak mungkin dapat membimbing tingkahlakunya kearah tujuan behavior. Guru berperan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah di rumuskan.
· Teori-Teori Belajar Psikologi Kognitif
Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reword” dan “reinforcement”. Menurut pendapat mereka, tingkah lakku seseoarang senantiasa didasarkan pada kognitisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperolrh “insigt” yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan untuk pemecahan masalah.
· Teori Belajar “Cognitve Field” dari Lewin
Kurt Lewin mengembangkan suatu teori belajar “cognitive field” denagan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing masing individu sebagai berada didalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut “life sepace”. “Life sepace” mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai, objek matriil yang ia hadapi,serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia milik dan tingkah laku berubah akibbat dari struktur kognitif.
· Teori belajar “cognitive Developmental” dari Piget
Dalam teorinya, Piget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. menurut piget pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Ia juga menyatakkan bahwa anak juga harus berperan aktiv dalam kelas. Menurut piget intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu:
a) Struktur, disebut juga scheme yaitu pola tingkah laku yang dapat diulang.
b) Isi, yang disebut dengan content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
c) Fungsi, disebut juga function, yang berhubungan dengan cara sesorang mencapai kemajuan intelektual.
· Jerome Bruner dengan Discovery Learning-nya
Dalam teorinya, dimana murid menggorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir, dimana guru menerangkan semua informasi dan murid harus mempelajarisemua bahan / informasi itu.
The act of discofery dari Bruner:
a. Adanya suatu kenikmatan didalam potensi intelektual.
b. Ganjaran instrinsik lebih ditekankan dari pada ekstrinsik
c. Murid yang mempelajari bagaimana menemukan, berarti murid itu menguasai metode discoovery learning.
d. Murid lebih senang mengingat-ingat informasi.
Langganan:
Postingan (Atom)