Selasa, 04 Januari 2011

Pendapat abu hayyan tentang hakikat sihir


Pendapat abu hayyan tentang hakikat sihir menurut beliau terdapat selisih pendapat tenntang hakekat sihir itu dalam beberapa hal:
Yang pertama: mengubah atau menciptakann suatu barang, menyerupai fa’al mukjizat dan keramat, seperti terbang dan menempuh jarak yang jauh dalam satu malam.
Yang kedua: tipu daya, penglabuan mata, sulapan, yang kesemuanya tidak mempunyai kenyataan yang sebenarnya. Ini adalah pendapat kaum mu’tazilah.
Yang ketiga: perbuatan yang didasarkan pada penglabuan mata dengan jjalan tipudaya, seperti yang dikerjakan oleh tukang-tukang sihir fir’aun, manakala tongat mereka dan tali mereka terisi dengan air raksa, lalu mereka memanasinya dari bawah dengan api, maka tali dan tongkat mereka menjadi panas lalu bbergerak dan merayap.
Yang keempat: mempergunakan pelayanan dan bantuan jin. Mereka inilah yang mengelarkan sihir itu dari suatu jenis yang halus, lalu ia meringan, menipis, dan menghalus.
Yang kelima: sihir yang dikerjakan itu terdiri atas bahan-bahan yang dikumpulkan kkemudian dibakar dengan dibacai asma dan mantra, kemudian digunnakan untuk perbuatan-perbuatan sihir.
Yang kekeenam: asal mulanyya adalah dari aziat-azimat yang didasakan atas pengaruh bintang-bintang, atau didasarkan atas permintaan bantuan syaitan dan jin untuk memudahkan sesuatu yang sulit.
Yang ketujuh: komposisi dari  kata-kata yang bercampur dengan kekufuran, dan memasukannya kedalam beranekaragam cara yang dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan pemantraan, pertenunan, azimat-azimat dan lain sebaganya yang sejenis dengan itu.
Berkata abu hayyan selanjutnya : “adapun pada zaman kita kini, setiap kali kami menelaahnya dlam kitab-kitab, tampak bahwa apa yang dimaksud dengan sihir itu semata-mata bohong dan dusta; tiada suatu yang bergantung kepadanya dan tiada pula suatu apapun yang menjadi benar sesuai dengan kenyataan dengannya.
Demikian pula dengan kesaktian azimat dan kekuatan sihir (kesemuanya itu tidak mempunyai sendi kebenaran), akan tetapi manusia mempecayaainya dan lahap untuk mendengarkannya[1]


[1] Tafsir albahrul-muhith, jilid I halaman  327.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar