Minggu, 19 Desember 2010

Rukun Jual Beli

Rukun Jual Beli
Jual beli berlangsung dengan ijab dan qabul, terkecuali untuk barang-barang kecil, tidak perlu dengan ijab dan qabul; cukup dengan saling sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. Dan dalam ijab dan qabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri.
Hal yang diperlukan adalah saling rela, direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukkan keridhaan dan berdasarkan makna pemilikan dan mempermilikkan. Seiring dengan hal tersebut Abdurrahman Al-Jaziriy telah mengemukakan bahwa rukun jual beli pada dasarnya terdiri atas tiga , yakni:

 Sighat
Sighat dalam jual beli ialah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kerelaan dari dua belah pihak; penjual dan pembeli, yang terdiri dari dua perkara.
♦ Perkataan dan apa yang dapat menggantikannya, seperti seorang utusan atau sebuah surat. Maka apabila seseorang kirim surat kepada orang lain; dia berkata dalam suratnya: “Sesungguhnya saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian”. Atau dia mengutus seorang utusan kepada temannya, kemudian temannya menerima jual beli ini dalam majelis, maka sahlah akad tersebut. Tidak diampuni baginya terpisah kecuali sesuatu yang diampuni dalam ucapan ketika hadirnya barang yang dijual.
♦ Serah terima, yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya seseorang membeli barang yang harganya kepadanya, maka ia sudah dinyatakan memiliki barang tersebut lantaran dia telah menerimanya. Sama juga barang yang dijual itu sedikit (barang kecil) seperti roti, telur dan sejenis yang menurut adat dibelinya dengan sendiri-sendiri, maupun berupa barang banyak (besar) seperti baju yang berharga.
 Aqid
Aqid yaitu orang yang melakukan akad, baik penjual maupun pembeli ditetapkan padanya beberapa syarat, antara lain:
♦ Hendaknya penjual dan pembeli sudah tamyiz, maka tidak sah jual belinya anak-anak yang belum mumayyiz, demikian pula jual belinya orang gila. Adapun anak-anak yang sudah tamyiz dan orang idiot, yaitu orang-orang yang sudah mengerti jual beli beserta akibatnya dan dapat menangkap maksud dari pembicaraan orang-orang yang berakal penuh serta mereka dapat menjawabnya dengan baik, maka akad jual mereka dan akad beli mereka adalah sah. Tetapi tak dapat dilaksanakan kecuali haru ada izin khusus dari walinya, dan tidak cukup dengan izin umum. Apabila seorang anak yang sudah tamyiz membeli sesuatu barang yang sudah mendapat izin dari walinya, maka sahlah dan harus dilaksanakan jual beli tersebut dan bagi wali sudah tak punya hak untuk menolaknya. Adapun jiwa wali tidak memberi izin dan si anak membelanjakannya sendiri untuk kepentingan sendiri, maka jual belinya sah tetapi tidak dapat dilaksanakan sehingga wali memberi izin atau dia sendiri yang memberi izin sesudah ia dewasa.
♦ Hendaknya si aqid itu orang yang sudah pandai (rasyidan : yaitu orang yang sudah mengerti tentang ketentuan hitung). Ini sebagai syarat lulusannya jual beli. Maka tidak sah jual belinya anak kecil, baik yang sudah tamyiz maupun yang belum, dan tidak sah pula jual belinya orang gila, orang idiot (ma’tuh) dan pemboros yang luar biasa, hingga tak dapat memegang uang dan tidak mengenal hitung (safih), kecuali apabila si wali memberi izin kepada yang tamyiz dari mereka. Sedang jual belinya orang yang belum tamyiz adalah batal. Adalah sama antara mumayyiz yang normal penglihatannya dan yang tuna netra.
♦ Hendaknya si aqid dalam keadaan tidak dipaksa (mukhtar). Maka tidak sah jual belinya orang yang dipaksa. Dalam hal tersebut telah dirinci dalam masing-masing mazhab ada qarinah atau tanda-tanda, maka pengakuannya tidak bisa diterima kecuali disertai bukti (saksi).

 Ma’qud
Pada ma’qud alaih (yang diakadkan) baik benda yang dijual maupun alat untuk membelinya (uang) ditetapkan beberapa syarat, antara lain:
♦ Suci
Maka tidak sah ma’qud alaih berupa barang najis, baik benda yang dijual maupun alat untuk membeli (uang).
♦ Dapat diambil manfaat dan dibenarkan oleh syara’. Maka tidak sah memperjual belikan binatang serangga yang tidak ada manfaatnya.
♦ Pada saat akad jual beli benda yang dijual adalah milik si penjual, tidak sah memperjual belikan barang yang bukan miliknya, namun ia tidak dapat menyerahkan lantaran masih di tangan orang yang dighasab itu bila dijual oleh si ghasib (orang yang ghasab), karena barang itu bukan miliknya sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar