Jumat, 19 November 2010

Dasar Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah

Dasar Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
حَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ عَامِلًا فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِينَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَالَ لَهُ أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلَاةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ ثُمَّ رَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ
(أخرجه البخارى فى : 73 كتاب الإيمان والنذور 3 – باب كانت يمين النبي صلى الله عليه وسلم)

Terjemahan adith
Ab umaid as-Sa’idy r.a. berkata, Rasulullah SAW mengangkat seorang pegawai unatuk menerima sedekah / zakat, kemudian setelah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang kepadaku.” Maka Nabi SAW bersabda kepadanya “Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)?”. Kemudian sesudah shalat, Nabi SAW berdiri, setelah tasyahut memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang disrahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku beri hadiah, mengapa tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya untuk melihat apakah di beri hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada orang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, antau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan. Ab umaid berkata, “Kemudian Nabi SAW mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.”
(Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam kitb mn dan na©ar, bab bagaimana cara Nabi SAW bersumpah)

Penjelasan adith
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai sala satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana disebutklan dalam sebuah adith yang diriwayatkan oleh mm Mlik dalam kitb Mwaa dan al-Khrasany :
قَصَا فَحُوا يَذُهَبُ اْلغُلَّ وَتَهَادُوْا تَحَابُوْا وَتَذْهَبَ الشَّحْنَاءَ (رواه الإمام مااك)
Artinya : “Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan menghilangkan kedengkian, s,aling memberi hadiahlah kalian semua, niscaya akan saling mencintai dan menghilangkan percekcokan”. (H.R. mm Mlik)
Senada dengan adith di atas, Turmu©y meriwayatkan adith lain dari Ab urairah :
قَهَادُوْا فَإِنَّ اْلهَدِيَّةَ تَذْهَبُ حَتَّ الصَّدْرِ (رواه الترمذى)
Artinya : “Saling memberi hadiahlah kamu semua, sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kebencian dan kemarahan” (H.R. Turmu©y)
Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut kelihatannya hina dan tidak berguna. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْأُهْدِى إِلَيَّ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه الترمذى)
Artinya : “Dari Anas r.a bahwa Nabi SAW bersabda, “kalau saya diberi hadiah keledai, pati amkan saya terima”. (H.R. Turmu©y)
Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah pada dasarnya memberi hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.
Hadiah adalah suatu yang diberikan dengan maksud sebagai bukti kasih sayang dan adanya persahabatan. Ada suatu pertanyaan : “Kapan hadiah dikategorikan sebagai suap?” Menurut Syara’, hukum asal hadiah adalah sunah, sebagaimana dith yang diriwayatkan. Akan tetapi Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah. Misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
Islam melarang seorang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun untuk menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun. Karena hal itu tidaklah layak dan dapat menimbulkan fitnah. Disamping sudah mendapatkan gaji dari negara, alasan pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memlikiki kedudukan atau jabatan, belum tentu orang-orang tersebut memberikan hadiah. Sebagaiman dinyatakan dalam dith di atas bahwa jika ia tidak menjabat dan hanya diam di rumah, tidak ada seorang pun yang memberikan hadiah kepadanya.
Hadiah yang diberikan seorang pejabat sebenarnya bukanlah haknya. Disamping itu niat orang-orang memberi hadiah kepada pejabat atau para pegawai, dipastikan dipastikan tidak didorong dan didasarkan pada keikhlasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia dihadapan Allah SWT. Kalau mereka ingin memberi hadiah, mengapa tidak memberikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan dari pada pejabat.
Seorang pejabat yang menerima hadiah dari orang, berarti dia mendekatkan dirinya pada perbuatan kolusi dan nepotisme. Dalam pelaksanaan kewajiban khususnya, misalnya dalam pengaturan tender, penempatan pegawai, dan lain-lain, bukan lagi didasarkan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang diberikan orang kepadanya dan seberapa dekat orang hubungannya dengan orang tesebut. Dan ia akan memmpermudah ber bagai urusan yang memberinya hadiah dan tidak mempedulikan urusan orang yang tidak dia kenal dan tidak pernah memberinya hadiah apapun. Dengan demikian akan berpengaruh pada kinerjanya.
Dengan demikian, sangatlah pantas kalau Rasulullah melarang seorang pegawai atau petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan, walaupun pada asalnya menerima hadiah dianjurkan. Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan bahwa “suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan tidak boleh dilakukan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar