Rabu, 24 November 2010

Hadits dilihat dari kuantitasnya

BAB II
  Hadits dilihat dari kuantitasnya
 Dilihat dari segi kuantitas atau jumlah banyak sedikitnya perowi yang menjadi sumber berita, hadits itu bisa terbagi menjadi 2 macam: Apabila jumlah sanadnya tidak terbatas, maka disebut hadits mutawatir. Apabila sanadnya terbatas, maka disebut dengan hadits ahad.

  1. Hadits Mutawatir

  1. Pengertian
Menurut etimologinya, hadits mutawatir adalah “mutatabi”, yang berarti beriring iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.1 Sedangkan menurut terminologinya adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.2

Jadi bisa ditarik satu kesimpulan bahwa hadits mutawatir adalah suatu hadits yang diriwayatkan sejumlah rowi, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat bohong, hal tersebut seimbang mulai dari permulaan sanad hingga akhir, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap thobaqotnya (tingkatan/lapisan).

  1. Syarat-syarat hadits mutawatir
Dengan pengertian yang telah dijelaskan tadi, maka suatu hadits bisa dikatakan mutawatir, itu apabila memenuhi 4 syarat:3
1) Diriwayatkan oleh perowi yang banyak. Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah minimal perowi tersebut:
Abu thayib mengemukakan bahwa minimal perowinya itu 4. Beliau mengqiyaskan hal itu dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapatkan gelar “Ulul Azmi”.
Sebagian ulama’ menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, karena berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah pada surat Al-anfal ayat 65:
...... ان يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا ماءتين ......

Ulama’ lainnya menetapkan jumlah tersebut minimal 40 orang. Hal itu diqiyaskan dengan firman Allah pada surat Al-anfal ayat 64:

يا ايها النبي حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين

Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”.

Keadaan orang-orang mukmin pada saat itu baru 40 orang. Jumlah sekian itulah jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan.

Oleh karena banyaknya para ulama’ menentukan jumlah minimal dari para perowi hadits mutawatir, jumlah yang masyhur adalah 10 perowi, seperti keterangan yang ada pada kitab Tadriibu Al-rowi An-nawawi hal 177.4

2) Jumlah perowinya seimbang dalam setiap tobaqotnya. Semisal ada suatu hadits yang diriwayatkan oleh sepuluh sahabat (thobaqot pertama), kemudian diterima oleh 5 orang tabi’in (thobaqot kedua), dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2 orang tabiit tabi’in (thobaqoh ketiga), maka hadits tersebut bukanlah hadits mutawatir, karena jumlah perowinya tidak seimbang antara thobaqot pertama, kedua dan ketiga.

3) Para perowinya tidak mungkin untuk bersepakat bohong, dikarenakan jumlah mereka yang harus banyak.

  1. Hadits yang diriwayatkan itu mengenai sesuatu dari Nabi SAW yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan perbuatan beliau yang dapat dilihat atau sabdanya yang dapat didengar. Adapun lafadz yang biasanya dipakai oleh para perowi itu seperti راينا , سمعنا لمسناatau . Tapi kalau hanya dalam angan-angan atau pikiran saja (seperti sifat barunya alam/حدوث العلم ), maka itu bukanlah hadits mutawatir.

  1. Hukum hadits mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faidah ilmu dzoruri, yaitu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan oleh hadits mutawatir tersebut, karena hadits itu membawa keyakinan yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Oleh karena itu, wajiblah bagi setiap orang islam menerima serta mengamalkan hadits mutawatir.


  1. Pembagian hadits mutawatir
Hadits mutawatir terbagi menjadi 2: Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma’nawi. 5

Mutawatir lafdzi: hadits yang mana lafadz dan ma’nanya itu mutawatir. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
من كذ ب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار

Pada hadits diatas, Abu Bakar Al-Bazrah mengungkapkan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sedangkan dalam kitab Taysir Mustalah Al-hadits, karangan Mahmud Al-Tahan, Beirut mengungkapkan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh 70 orang sahabat. Hadits-hadits yang diriwayatkan, itu kesemuanya sama, baik dalam segi ma’na maupun lafadznya.

Mutawatir ma’nawi: Hadits yang mana ma’nanya itu mutawatir, tapi lafadznya tidak. Seperti hadits-hadits Nabi yang menerangkan tentang nabi mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a.

Kurang lebih ada 100 hadits yang meriwayatkannya, yang kesemuanya itu menerangkan tentang Rosululloh mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, tetapi dengan qodiyah (bentuk) yang berbeda-beda.

Dengan kata lain, qodiyah-qodiyah tersebut tidak mutawatir, sedangkan ma’nanya itu mutawatir, yaitu tentang Nabi yang mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a.

  1. Hadits Ahad

  1. Pengertian
Menurut bahasa, اللآحد itu jamak dari lafadz احد , dengan ma’na الواحد (satu)6, sedang menurut istilahnya adalah suatu hadits yang jumlah perowinya tidak mencapai jumlah perowi pada hadits mutawatir, baik perowi itu seorang, 2 orang, 3 orang, 4 orang, 5 orang dan seterusnya, yang mana jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits itu masuk ke dalam hadits mutawatir,7 atau juga bisa diartikan dengan hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.8
  1. Hukum hadits ahad
Hadits ahad memberikan faidah ilmu nadzori, yaitu ilmu yang bergantung pada penelitian (النظر) maupun penyelidikan (الاستدلال). Oleh karena itu, dalam hadits ahad masih perlu penyelidikan, sehingga dapat diketahui apakah hadits tersebut dapat diterima (maqbul) ataupun ditolak (mardud).
Dan kalau ternyata telah diketahui bahwa hadits tersebut maqbul, maka para ulama’ sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir,serta bisa dipakai untuk berhujjah.

  1. Pembagian hadits ahad
Secara umum, hadits ahad bisa dibagi menjadi 3 bagian:
1) Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir pada setiap tobaqotnya.9
Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى
Hadits diatas pada thobaqot pertama diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri, pada thobaqot kedua diriwayatkan oleh ‘Alqomah sendiri, pada thobaqot ketiga hanya diriwayatkan oleh ibnu ibrahim, pada thobaqot keempat diriwayatkan Yahya bin Sa’id sendiri.

Sedangkan setelah Yahya inilah hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak orang, dengan kata lain hadits tersebut pada awalnya berupa hadits ghorib, dan pada akhirnya berupa hadits masyhur (mulai dari perowi yang setelahnya Yahya).

Istilah masyhur yang diterapkan suatu hadits, kadang-kadang bukan hanya melihat dari jumlah perowi hadits tersebut (masyhur istilahi), melainkan juga melihat dari sifat suatu hadits yang sudah masyhur dikalangan beberapa ulama’ dan masyarakat awam.

Sehingga dengan demikian, ada suatu hadits yang perowinya Cuma satu orang atau lebih, bahkan ada yang tidak bersanad sama sekali, tetapi hadits ini masih bisa disebut dengan hadits masyhur, yang biasanya disebut dengan hadits “Masyhur Ghoirul Istilahi”, semisal:

  1. Hadits yang masyhur dikalangan ulama’ fiqih. Seperti hadits:

ابغض الحلال الى الله الطلاق (متفق عليه)

  1. Hadits yang masyhur dikalangan orang-orang umum:

العجلة من الشيطان (اخرجه الترمذي وحسنه)
  1. Dan lain-lain

Sedangkan hukum hadits masyhur, baik istilahi maupun ghoirul istilahi itu tidak bisa dipastikan dengan sohih, hasan dan dloif. Bahkan adakalanya maudlu’ (Hadits yang disanadnya terdapat seorang rowi yang pendusta. Atau yang dibikin oleh orang-orang, kemudian mereka katakan kalau hadits itu dari Nabi).

2) Hadits Aziz
Hadits aziz adalah hadits yang perowinya tidak kurang dari 2 orang dalam thobaqot sanadnya.

Menurut Mahmud Al-tohan, yang juga diperkuat oleh pendapat Ibnu Hajar, sekalipun dalam sebagian thobaqot terdapat perowinya 3 orang atau lebih, tidak ada masalah, asalkan dari sekian thobaqot terdapat 1 thobaqot yang jumlah perowinya hanya 2 orang.10

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu hadits bisa dikatakan hadits aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh 2 orang rowi pada setiap thobaqotnya (sejak dari thobaqot pertama sampai thobaqot terakhir), tetapi selagi salah satu didapati seorang perowi, tetap dapat dikategorikan hadits aziz.
Diantara contoh hadits aziz adalah:

لايؤمنون احدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين (رواه البخاري والمسلم)
3) Hadits Ghorib
Hadits ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh 1 perowi, baik pada semua thobaqotnya (thobaqot pertama sampai terakhir) maupun hanya pada 1 thobaqot saja.11

Hadits ghorib ini, oleh para ulama’ dibagi menjadi 2 macam:
  1. Ghorib mutlak
Hadits ghorib mutlak adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perowi, yaitu pada thobaqot pertamanya (sahabat).12

Contoh hadits ghorib mutlak adalah haditsnya Nabi yang berbunyi:

انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Kholifah Umar bin Al-Khottob saja, tapi kemudian hadits itu juga diriwayatkan seorang perowi saja sampai beberapa thobaqot.

  1. Ghorib nisbi
Hadits ghorib nisbi adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perowi saja, yang mana hal itu terjadi pada kalangan tabi’in/tabi’it tabi’in. Dengan kata lain, hadits tersebut pada kalangan sahabat (thobaqot pertama) itu diriwayatkan oleh perowi yang banyak, tetapi pada kalangan tabi’in/tabi’it tabi’in ada yang diriwayatkan oleh 1 perowi saja. Seperti hadits:

مالك عن الزهري عن انس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر

pada hadits diatas, imam malik meriwayatkan sendirian dari Az-Zuhri.




1 M. Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 65.
2 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthahu’l Hadits (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), 78.
3 Al-Tohhan, Taysiru Mustolah Al-Hadits, 21.
4 Ibid., 20.
5 Subhi as-Sholih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), 135.
6 Al-Tohhan, Taysiru Mustolah Al-Hadits, 22.
7 Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 108.
8 Rahman, Ikhtisar Musthahu’l Hadits, 86.
9 Al-Tohhan, Taysiru Mustolah Al-Hadits, 23.
10 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 116.
11 Rahman, Ikhtisar Musthahu’l Hadits, 97.
12 Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar