Minggu, 14 November 2010

macam-macam korupsi menurut fiqih islam


              Kualifikasi Tindakan Korupsi Dalam Fiqih Jinayyah

A.     Ghulul (Penggelapan)
a.       Pengertian Ghulul
         Secara etimologis kata ghulul berasal dari kata kerja “غلل- يغلل”yang masdar invinitive atau verbal nounnya ada beberapa pola” الغل- الغلة – الغلل - والغليل” yang semuanya diartikan oleh Ibnu Manzur dengan   شدة العطس وحرارتة    sangat kehausan dan kepanasan.
         Secara lebih sepesifik dikemukakan dalam Mu’jam Al Wasit bahwa kata ghulul berasal dari kata kerja غلل- يغلل    yang berarti خان في المغنم وغير ه     berkhianat dalam harta rampasan perang atau dalam harta yang lain.

Adapun kata     الغلول   dalam arti berkhianat dalam harta rampasan perang disebutkan dalam firman Allah dalam surat ali imran ayat 161
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ  
Artinya:
         “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.
         Dari uraian mengenai definisi ghulul secara etimologis diatas bisa diketahui bahwa Ibnu Manzur berbeda dengan penulis Al Mu’jam Al Wasit dalam mendefinisikan ghulul kalau Ibnu Manzur secara tegas menyatakan bahwa secara bahasa bahwa ghulul berarti sangat kehausan, sedangkan tim penyusun Al Mu’’jam Al Wasit langsung pada pengertian secara istilah yaitu berkhianat terhadap harta rampasan perang.
         Adapun definisi ghulul secara terminologis antara lain dinyatakan oleh Rawas Qala’’raji dan Hamid Sabiq Qunaibi dengan “اخد الشيء ودسه في متا عه  “ mengambil sesuatu dengan menyembunikannya dalam hartanya.
         Definisi ghulul yang agak lengkap diungkapkan Muhammad Bin Salim Bin Ba'asiil Al-Syafi'i dengan sedikit uraian,ia menjelaskan bahwa diantara bentuk-bentuk kemaksiatan tangan adalah al- ghulul atau berkhianat dengan harta rampasan perang, hal ini termasuk dosa-dosa besar. dalam kitab Az Zawajir dijelaskan bahwa ghulul adalah tindakan mengkhususkan/ memisahkan yang dilakukan oleh seorang tentara. baik ia seorang pemimpin atau bukan prajurit terhadap harta rampasan perang sebelum dibagi, tanpa menyerahkan kepada pemimpin untuk dibagi menjadi lima bagian , walaupun harta yang digelapkan itu hanya sedikit.
         Dari definisi diatas baik secara etimologis maupun terminologis, bisa disimpulkan bahwa istilah ghulul diambil dari surat Ali Imran ayat 161 yang pada mulanya hanya terbatas pada tindakan pengambilan. penggelapan atau berlaku curang terhadap harta rampasan perang. akan tetapi dalam perkembangan pemikirannya berikutnya tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti terhadap harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslimin, harta bersama dari suatu kerjasama bisnis, harta negara, harta zakat dll.

b. Sanksi bagi Pelaku Ghulul
         Sanksi bagi pelaku ghulul tampaknya bersifat moral ghulul mirip dengan jarimah riddah tetapi untuk dua jenis jarimah ini walaupun dalam ayat Al Qur'an tidak disebutkan teknisi eksekusi ataupun jumlahnya, tetapi dalam hadis hadis nabi secara tegas disebutkan teknis dan sanksi keduanya. hal ini membedakan antara ghulul dengan jumlah jarimah kisas dan hudud, sehingga ghulul masuk dalam kategori jarimah ta'zir. Sanksi moral pelaku ghulul berupa akan dipermalukan dihadapan Allah kelak pada hari kiamat, tampaknya sangat sesuai dengan jenis sanksi moral yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW. Bentuk sanksi moral yang telah terjadi dalam hadis diterangkan bahwa nabi Muhammad SAW tidak menshalati jenazah pelaku ghulul.
Sementara itu terdapat dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud , Ahmad Baihaqi dan abu y’la yang menyatakan bahwa rasulullah pernah bersabda: “ barang siapa kamu dapatkan dalam harta bendanya barang hasil ghulul (penggelapan) maka bakarlah harta benda itudan pukullah dia. Namun hadis ini dinilai oleh seluruh ulama sebagai hadis dha’if.


B.     RISWAH (PENYUAPAN)
a.       Pengertian dan Hukum Riswah
         Secara etimologis kata riswah berasal dari bahasa arab “ رشا- يرشو ” Yang masdar atau verbal nounya bisa dibaca “رشوة – رشوة ’ Atau “ رشوة ’’ (huruf ra’nya dibaca kasrah, fathah atau dhamah) berarti “ الجعل  ” upah, hadiah, komisi, atau suap. Ibnu Manzur juga mengemukakan penjelasan Abul Abas tentang makna kata riswah yang mengatakan bahwa kata riswah terbentuk dari kalimat “ رشا الفرخ ” anak burung yang merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induknya untuk disuapi.
         Adapun secara terminologis riswah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/ salah atau menyalahkan yang benar.
         Diantara definisi riswah, definisi menurut penulis buku Kasyaf Al Qanna ‘An Matn Al-Iqna’, Mansur bin Yunus Idris Al Bahuti, menurut penulis cukup menarik, sebab ia mengemukakan bahwa jika pihak pertama memeberikan sesuatu kepada pihak kedua dalam rangka mencegah pihak pertama agar terhindar dari kezaliman pihak kedua dan agar pihak pihak kedua mau melaksanakan kewajibannya maka pemberian semacam ini tidak dianggap sebagai riswah yang dilarang agama.
         Dalam sebuah kasus riswah setidaknya pasti melibatkan tiga unsur utama yaitu pihak pemeberi الراش)), pihak penerima pemberian tersebut (المرتشي) dan barang bentuk dan jenis pemberian yang diserah terimakan. Akan tetapi dalam kasus riswah tertentu boleh jadi bukannya hanya melibatkan unsur pemeberi, penerima dan barang sebagai obyek riswahnya, melainkan bisa juga melibatkan pihak keempat sebagai broker atau perantara pihak pertama dan kedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima, misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para pihak dimaksud.


b. Klasifikasi dan Sanksi Hukum Pelaku Riswah
1) Klasifikasi Riswah
         Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa setidaknya riswah, suap, sogok atau oleh UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 12 b disebut dengan gratifikasi ada yang disepakati oleh para ulama haram hukumnya dan ada yang disepakati halal hukumnya.
         Riswah yang disepakti haram hukumnya oleh para ulama adalah riswah yang dilakukan dengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang mestinya benar atau dengan kata lain suap yang hukumnya haram adalah sikap yang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinya menang dan memenangkan pihak yang memestikan kalah. Sedangkan suap yang dinyatakan oleh mayoritas ulama hukumnya halal adalah suap yang dilakuakan dengan tujuan untuk menuntut atau memeperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi suap (الراشى) atau untuk menolak kemadaratan, kezaliman dan ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak pemberi suap tersebut.
         Pembegian dua jenis suap yang haram dan suap yang halal ini memang tidak secara eksplisit bisa ditemukan dalam berabagai uraian para ulama, sebab haram atau halalnya suap sangat tergantung pada niat dan motifasi penyuap ketika memberikan supaya kepada penerima, sehingga ada yang hanya dianggap halal bagi penyuap tetapi tetapi tetap haram bagi petugas, pegawai atau hakim sebagai pihak penerima .


2). Sanksi hukum bagi pelaku riswah
         Adapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku riswah tampaknya tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul yaitu hukuman takzir, sebab keduanya memang tidak termasuk dalam ranah kisas dan hudud. Dalam hal ini  Abdullah Muhsin Al-Tariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum pelaku tindak pidana suap tidak disebutkan secara jelas oleh syari’at mengingat sanksi tindak pidana riswah masuk dalam kategori sanksi – sanksi takzir yang kompetensinya ada di tangan hakim. Untuk menentukan jenis sanksi tentu sesuai dengan kaidah-kaidah hukum islam yang sesuai dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakuakn disesuaikan dengan lingkungan dimana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan dengan motifasi-motifasi yang mendorong sebuah tindak pidana dilakuakan. Intinya bahwa riswah masuk dalam kategori tindak pidana takzir”
         Dalam beberapa hadis tentang riswah, memang disebutkan dengan pernyataan “لعن الله الراش والمرتشي” atau dengan “لعن الله علي الراش والمرتشي” Allah melaknat penyuap dan penerima suap atau dengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuap dan penerimanya. Meskipun para pihak yang terlibat dalam jarimah riswah dinyatakan terlaknat atau terkutuk, yang akibatnya riswah dikategorikan kedalam-dalam daftar dosa-dosa besar. Namun oleh karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi maka riswah dimasukkan dalam kelompok tindak pidana takzir. Abdul aziz Amir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana riswah sanksi yang diberlakukan adalah hukum takzir.
         Sanksi takzir bagi pelaku tindak pidana riswah ini lebih lanjut dijelskan oleh al-Tariqi bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah/ tindak pidana riswah merupakan konsekwensi dari sikap melawan hukum islam dan sebagai konsekwensi dari sikap menantang / bermaksiat kepada Allah. Oleh karena itu harus diberi sanksi tegas yang sesuai dan mengandung (unsur yang bertujuan) untuk menyelamatkan orang banyak dari kejahatan para pelaku tindak pidana, untuk membersihkan masyarakat dari para penjahat, lebih-lebi budaya suap menyuap termasuk salah satu dari jenis-jenis kemungkaran yang harus diberantas dari sebuah komunitas masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa salah seorang dari kalian melihat kemungkaran maka rubahlah kemunkaran itu dengan tangannya” .(H.R. Muslim, al- Tirmizi, al-Nasai dan Ahmad)”. Merubah kemungkaran dengan tangan sebagaimana perintah dalam hadis ini pada dasarnya merupakan tugas yang terletak di pundak pemerintah dan instansi yang berwenang untuk merubah kemungkaran ini.
C.     GHASAB
a.       Penegertain Ghasab
Secara etimlogis ghasab berasal dari kata kerja “غصب- يغصب-غصبا ” Yang berarti “ أخذه قهرا او ظلما  mengambil secara paksa dan zalim, Muhammad al khatib al Syarbini menjelaskan definisi gasab secara etimologis “هو لغة اخذ الشيء ظلما وقبل أخذ ظلما جها را ” Gasab secara bahasa berarti mengambil sesuatu secara zalim, sebelum mengambilnya secara zalim (ia juga melakukan) secara terang-terangan. sedangkan al-Jurjani secara etimologis mendefinisikan gasab dengam “أخذ الشيء ظلما ما لا كان أو غيره” (mengambil sesuatu secara zalim baik yang diambil itu harta atau yang lain). Sedangkan secara terminologis gasab didefinisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan / tereng-terangan.
         Menurut penulis gasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan adanya unsur pemkasaan dan terkadang adanya kekerasan serta dilakuakn secara terang terangan. Oleh karena ada batasan tanpa izin pemilik, maka bila yang diambil berupa harta titipan atau gadai, jelas tidak termasuk perbuatan gasab, tetapi khianat. Karena terdapat unsur pemaksaan atau terkadang dengan kekerasan maka ghasab bisa mirip dengan perampokan , hanya dalam ghasab tidak sampai ada tindakan pembunuhan. Karena terdapat unsur terang-terangan maka ghasab jauh berbeda dengan pencurian yang didalamnya terdapat unsur sembunyi-sembunyi. Kemudian karena yang diambil bukan hanya harta melainkan termasuk mengambil atau menguasai hak orang lain maka beberapa hak seseorang seperti hak untuk membuat batas  kepemilikan tanah, hak untuk menduduki jabatan , hak untuk beristirahat dengan duduk-duduk dimasjid, ditempat-tempat umum dan hak-hak lain termasuk hak-hak privasi maka kalau hak- hak dimaksud dikuasai, direbut atau diambil oleh seseorang maka perbuatan ini jelas merupakan tindakan gasab.
Hukum dan dalil-dalil tentang larangan gasab
         Para ulama sepakat menyatakan bahwa gasab merupakan perbuatan terlarang dan hukumnya haram dilakukan. Dalam hal ini imam al nawawi mengatakan bahwa prinsipnya seluruh kaum muslimin sepakat menyatakan bahwa hukum gasab hukumnya haram, al zuhaili menambahi bahwa hal itu haram meskipun tidak mencapai nisab mencuri.

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu


Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ  
Artinya:  dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Dalam kedua ayat tersbut secara tegas bahwa alllah melarang memakan harta antara satu dengan orang lain dengan cara batil masuk dalamkategori memakan harta sesame dengan cara batil ini adalah perbuatan ghasab, karena didalamnya terdapat unsure merugikan pihak lain atau tepatnya ghasab termasuk melanggar Allah SWT dalam ayat ini . ketika menafsirkan ayat ini, al Qurtubi secara tegas memasukkan gasab sebagai salah satu bentuk perbuatan yang dilarang dan termasuk dalam kategori memakan harta sesame dengan cara batil.
 Disamping kedua ayat diatas larangan dan ketentuan haramnya gasab didasarkan atas beberapa hadis nabi SAW. Beliau pernah bersabda bahwa sesungguhnya darah kalian haram(untuk saling diganggu) seperti haramnya hari (nahr) kalian ini, seperti bulan zulhijjah) kalian ini di negri (makkah / mina / tanah haram) kalian ini.
b.      Sanksi hukum pelaku ghasab
Dari pengertian dan dalil dalil larangan ghasab baik dalil al qur’an maupun hadis , bisa diketahui bahwa tidak ada satunashpun yang menjelaskan tentang bentuk, jenis jumlah dan sanksi hukum bagi para pelaku gasab. Oleh karena itu gasab termasuk dalam zarimah takzir. Hanya saja untuk jarimah atau tindak pidana gasab ada semacam sanksi-sanksi tertentu yang apabila dihubungkan denagn tradisi kategorisasi hukum Indonesia sanksi bagi pelaku ghasab masuk kedalam jenis sanksi perdata bukan sanksi pidana.
Secara agak detail imam al nawawi mwngklasifikasikan jenis sanksi bagi pelaku gasab ini dikaitkan dengan kondisi barang sebagai objek gasab menjadi tiga kategori, yaitu,
1). Sanksi pelaku gasab bila barang hasil ghasabnya masih utuh
Pelku gasab terhadap harta yang masih utuh seperti kondisi semula berupa kewajiban mengembalikan harta yang digasab tersebut. Teknis pengembaliannya dilakuakn oleh pemilik untuk mendesak pelaku. Tetapi kalau pemilik merasa tidak mampu melakukan nya maka petugas berwenang yang mengambil alih tugas ini dan memebrikan hukuman takzir/ta’dib terhadap pelaku.
Kalau barangnya bersifat dan bisa memebrikan income bagi pemilik, pelaku juga harus dituntut untuk memperhitungkan kerugian korban akibat tindakan gasab pelaku. Disini aparat berkewajiban membantu kalau perlu dengan memberlakukan takzir bagi para pelaku.
2). Sanksi pelaku ghasab bila barang gasabannya telah lenyap
Dalam hal sanksi pelaku gasab yang barangnyatelah lenyap ini terdapat dua macam, yaitu; barang yang jenis, bentuk dan ukurannya pasti dan jelas, seperti biji-bijian, minyak, uang maka pelaku wajib mengembalikan barang ttersebut secara sama, baik dari sisi jenis, macam sifat dan ukurannya.
Barang yang jenis bentuk dan ukurannya berbeda-beda , seperti kain. Dalam hal ini pelaku wajib mengganti uang  seharga barang yang digasab tersebut.
3). Sanksi pelaku gasab bila barang hasil gasabannya berkurang.
Bila barang hasil gasab yang dilakukan pelaku telah berkurang maka untuk menentukan jenis sanksinya harus diklasifikasikan menjadi barang berupa makhluk hidup dan benda mati.
Dalam hal pelkau manggasab makhluk hidup seperti binatang maka pelaku berkewajiban mengembalikannya, dismping pelaku juga wajib mengembalikan kekurangan tersebut  dengan nilai nominal dalam bentuk usng sebagai bentuk ganti rugi.
Jika benda yang digasab berupa benda mati dan berkurang cacat atau robek atau piring atau perkakas lain yang digasab dan akhirnya retak maka pelaku wajib mengembalikan yang masih utuh dan harus memeprhitungkan kekurangan-kekurangan tersebut utntuk diganti.


D.     Khianat, pengertian dan sanksinya

Kata khianat berasal dari bahasa arab yang berupa bentuk verban noun atau masdar dari kata kerja “خان- يخون” selain “خيانة” bentuk masdarnya bisa berupa ‘خونا – وخاونة – ومخانة  " yang semuanya berarti “ان يؤتمن الا نسان فلا ينصخ ” sikap tidak bagusnya seseorang ketika diberi kepercayaan.

         Bentuk isism fa’il pelaku dari kata kerja “خان- يخون ” adalah “خائن ” yang oleh fayumi dalam al misbah al munir diartikan dengan “هو الذى خان ما جعل عليه امياء”  Seseorang yang berkhianat terhadap sesuatu yang dipercayakan kepadanya, dan oleh syaukani dan nail al autar diberi penjelasan  bahwa “خائن” adalah
من يأ خذ المال خيفة ويظهر النصح للمالك” orang yang mengambil harta secra sembunyi-sembunyi dan menampakkan prilaku baiknya terhadap pemilik (harta tersebut).
Penjelasan makna kata “خائن” yang dikemukakan oleh syaukani ini juga dikemukakan oleh syamsul haq al-azim abadi dalam  ‘aun al ma’bud dan al mubarakfuri dalam tuhfah al-ahwadzi secara mendetai berkata bahwa dalam kitab al mirqah pengarangnya berkata bahwa kh’in adalah orng yang diberi kepercayaan untuk (merawat/mengurusi) suatu/barang dengan akad sewa menyewa, dan barang titipan, tetapi sesuatu itu diambilnya, kemudian dia mengaku kalau barang itu hilang, atau dia mengingkari barang titipan itu ada padanya.
Sementar itu Al Raghib Al-Ashafani seorang pakar bahasa Al Qur’an ketika menjelaskan makna khianat, ia kaitkan dengan kata nifak kedua kata ini sama-sam memiliki arti yang tidak baik.
Dengan demikian ungkapan khianat juga digunkan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam bentuk pembetalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah utang piutang atau masalah mua’amalah secara umum.
Sanksi hukuman
Sanksi hukuman khianata adalah hukuman takzir yaitu hukuman yang diputuskan oleh pemimpin setempat.



E.      SARIQAH
a.       Pengertian sariqah
Secara etimologis sariqah adalah bentuk masdar atau verbal noun dari kata “سرق-يسرق- سرقا” Yang berarti “أخذ ماله خفية وجيلة” mengambil harta seseotrang secara sembunyi sembunyi dan dengan tipu daya “ sedangkan secarat terminologis definisi sariqah dalam syari’at islam yang pelkunya harus diberi hukuman potong tangan adalah mengambil harta senilai dijaga dan dilakukan oleh seorang mukalaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsure subhat, sehinggakalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak bisa dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.
Jadi sariqah adalah mengaambil barang atau harta orang lain dengan cara sembuyi sembunyi dari tempat penyimpanannnya yang biasa digunakan untuk mneyimpan barang atau harta kekayaan tersebut. Dalam hal ini, Abdul Qadir audah menjelaskan secara detail tentang pencurian besar dan pencurian kecil, bahwa pada pencurian kecil proses pencurian tidak diketahui oleh korban dan dilakukan tanpa seizinnya, sebab memang dalam pencurian kecil harus memenuhi dua unsur ini secara bersamaan, (yaitu korban tidak mengetahui dan korban tidak mengizinkan). Sedangkan pada pencurian besar proses pengambilan harta dilakukan dengan diketahui oleh pihak korban, tetapi tidak mengizinkan hal iti terjadi, sehingga terdapat unsure kekerasan.
b.      Syarat dan rukun jarimah syariqah
Sayarat-syarat jarimah sariqah ada lima; (1) pelaku telah dewasa dan berakal sehat, (2) pencurian tidak dilakukan karena terdesak oleh kebutuhan hidup, (3) tidak ada hubungan kerabat antara pihak korban denga pelaku, (4) tidak terdapat unsure subhat dalam hal kepemilikan, (5) pencurian tidak terjadi pada aat peperangan dijalan allah karena RasulullahSWT melarang hukum potong tanga dalam suasana perang.
Berkaitan dengan unsur tindak pidana itu, abdul Qadir audajh mengemukakan bahwa usur-unsur sariqah terdiri ari empat macam yaitu, (1) mengambil secara sembunyi-sembunyi, (2) barang yang diambil berupa harta, (3) harta yang diambil tersebut milik orang lain, (4) unsure Al-Qasad al-Jina’i/ melawan hukum.
Hukuaman bagi para [elaku syariqah ini telah jelas dalam al qur’an bahwa mereka harus dipotong tangannya.
F.      Hirabah (perampokan)
Secara etimologis hirabah adalah bentuk masdar atau verbal noun dari kata kerja “حارب  - يحارب محاربة - وحرابة” Yang berarti “قاتله” Memerangi. Atau dalam kalimat “حاربالله” Seorang berkhianat kepad Allah.
Adapun secar terminologis muhharib atau quta’u al-tariq adalah mereka yang melakukan penyerangan denagn membawa senjata kepada sebuah komunitas orang, sehingga para pelkau merampas harta kekayaan mereka ditempat-tempat terbuka secara teang-terangan.
Denikian sangat jelas perbedaan antara perampokan dan pencurian , yang terletak pada unsure usur mendasarnya , yaitu kalau dalam pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi sedangkan dalam hirabah prosesnya dilakuka secara terang-terangan dan kasar.
Dalil dan sanksi hukum pelku jarimah hirabah
Dalil naqli dalil naqli tentang perampokan secara tegas disebutkan dalam al qur’an surat al maidah ayat 33-34

$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ÷ƒr& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚöF{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOŠÏàtã ÇÌÌÈ   žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍköŽn=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù žcr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ulama-ulama madzhab sayfi’I Dan abu hanifah memahami kata aula tau pada ayatini berfungsi sebagai rincian yang disebutkan sanksinya sevcara berurutan sesuai bentuk dan jenis kejahatan yang dilakukan oleh para perampok. Jika hanya membunuh maka, maka iapun harus dibunuh. Bila membunuh merampok dan menakut0nakuti maka maka ia dibunuh dan disalib. Jika sekedar merampok tidak membunuh maka kaki tangannya dipotong menyilang. Dan jika ia tidak melakukan apa-apa hanya sekedar menakut nakuti maka ia dibuang/dipenjarakan.[1]


[1] Ibid hal 93-156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar