Selasa, 02 November 2010

Perkembangan Hubungan Remaja Dengan Teman Sebaya


  Perkembangan Hubungan Remaja Dengan Teman Sebaya
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bergaul atau berhubungan dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam suatu investigasi ditemukan bahwa anak berhubungan dengan teman sebaya 10 % dari waktunya setiap hari pada usia 2 tahun. 20 % pada usia 4 tahun dan lebih dari 40 % pada usia antara 7-11 tahun. (Santrack, 1998)
Berbeda halnya dengan masa kanak-kanak, hubungan teman sebaya remaja lebih didasari pada hubungan persahabatan. Menurut Bloss (1962), pembentukan persahabatan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek. Pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phalic conflcts. Erikson (1968) memandang tren perkembangan ini dari perspektif nomatif life crisis, di mana teman memberikan feed back dan informasi yang konstruktif tentang self-definition dan penerimaan komitmen.[1]
Seorang remaja saling mencari teman sebaya karena mengerti bahwa mereka dalam nasib yang sama, seperti halnya sebelum timbulnya tingkah laku sesuai jenis, yaitu umur 5-6 tahun, timbulah lagi kelompok-kelompok campuran (anak-anak wanita dan anak-anak laki-laki) tetapi alasan pembentukan kelompok campuran tadi lain dengan waktu sebelumnya. Anak-anak wanita dan anak-anak laki-laki betul-betul ada dalam situasi yang sama. Dalam status intern yang sama. Mereka sam-sama berusaha untuk mencapai kebebasan mereka mempunyai kecenderungan yang sama untuk menghayati kebebasan tadi sesuai dengan usia dan seknya.[2]
Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih menjelaskan dari pada pengaruh keluarga.
Harrocks dan Benimoff menjelaskan pengaruh kelompok sebaya pada masa remaja sebagai berikut:
Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda yang menyiapkan panggung dimana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompk sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Dari sinilah ia dinilai oleh orang lain-lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya merupakan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Jadi, di masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan di situ pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu melakukannya, kecuali itu, kelompok sebaya merupakan hiburan utama bagi anak-anak belasan tahun. Berdasarkan alasan tersebut kelihatanlah kepentingan vital masa remaja bagi remaja bahwa kelompok sebaya terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya dari yang kepadanya ia sendiri bergatung.[3]
Kelly dan hansen (1987) menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu:
1.      Mengontrol implus-implus agresif
2.      Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independent
3.      Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial mengembangkan kemampuan penalaran dan belajar untuk mengekpresikan  perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang
4.      Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin
5.      Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai
6.      Meningkatkan harga diri (self esteem)
Ahli teori lain menekankan pengaruh negatif dari teman sebaya terhadap perkembangan remaja, menjelaskan bahwa budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kesalahan yang merusak nilai-nilai dan kontrol orang tua lebih dari itu, teman sebaya dapat memperkenalkan remaja pada alkohol, obat-obatan (narkoba), kenakalan dan berbagai bentuk perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai maladaptif. (snatarck, 1998).[4]


[1] Desmita, Psikologi Perkembangan, 219-220.
[2] F.J. Monks, A. M.P. Knoers, Perkembangan Peserta Didik, 279.
[3] Elizabeth. B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, 213-214.
[4] Desmita, Psikologi Perkembangan, 220-221.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar