Klasifikasi dan Sanksi Hukum Pelaku Riswah
1) Klasifikasi Riswah
Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa setidaknya riswah, suap, sogok atau oleh UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 12 b disebut dengan gratifikasi ada yang disepakati oleh para ulama haram hukumnya dan ada yang disepakati halal hukumnya.
Riswah yang disepakti haram hukumnya oleh para ulama adalah riswah yang dilakukan dengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang mestinya benar atau dengan kata lain suap yang hukumnya haram adalah sikap yang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinya menang dan memenangkan pihak yang memestikan kalah. Sedangkan suap yang dinyatakan oleh mayoritas ulama hukumnya halal adalah suap yang dilakuakan dengan tujuan untuk menuntut atau memeperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi suap (الراشى) atau untuk menolak kemadaratan, kezaliman dan ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak pemberi suap tersebut.
Pembegian dua jenis suap yang haram dan suap yang halal ini memang tidak secara eksplisit bisa ditemukan dalam berabagai uraian para ulama, sebab haram atau halalnya suap sangat tergantung pada niat dan motifasi penyuap ketika memberikan supaya kepada penerima, sehingga ada yang hanya dianggap halal bagi penyuap tetapi tetapi tetap haram bagi petugas, pegawai atau hakim sebagai pihak penerima .
Sanksi hukum bagi pelaku riswah
Adapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku riswah tampaknya tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul yaitu hukuman takzir, sebab keduanya memang tidak termasuk dalam ranah kisas dan hudud. Dalam hal ini Abdullah Muhsin Al-Tariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum pelaku tindak pidana suap tidak disebutkan secara jelas oleh syari’at mengingat sanksi tindak pidana riswah masuk dalam kategori sanksi – sanksi takzir yang kompetensinya ada di tangan hakim. Untuk menentukan jenis sanksi tentu sesuai dengan kaidah-kaidah hukum islam yang sesuai dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakuakn disesuaikan dengan lingkungan dimana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan dengan motifasi-motifasi yang mendorong sebuah tindak pidana dilakuakan. Intinya bahwa riswah masuk dalam kategori tindak pidana takzir”
Dalam beberapa hadis tentang riswah, memang disebutkan dengan pernyataan “لعن الله الراش والمرتشي” atau dengan “لعن الله علي الراش والمرتشي” Allah melaknat penyuap dan penerima suap atau dengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuap dan penerimanya. Meskipun para pihak yang terlibat dalam jarimah riswah dinyatakan terlaknat atau terkutuk, yang akibatnya riswah dikategorikan kedalam-dalam daftar dosa-dosa besar. Namun oleh karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi maka riswah dimasukkan dalam kelompok tindak pidana takzir. Abdul aziz Amir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana riswah sanksi yang diberlakukan adalah hukum takzir.
Sanksi takzir bagi pelaku tindak pidana riswah ini lebih lanjut dijelskan oleh al-Tariqi bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah/ tindak pidana riswah merupakan konsekwensi dari sikap melawan hukum islam dan sebagai konsekwensi dari sikap menantang / bermaksiat kepada Allah. Oleh karena itu harus diberi sanksi tegas yang sesuai dan mengandung (unsur yang bertujuan) untuk menyelamatkan orang banyak dari kejahatan para pelaku tindak pidana, untuk membersihkan masyarakat dari para penjahat, lebih-lebi budaya suap menyuap termasuk salah satu dari jenis-jenis kemungkaran yang harus diberantas dari sebuah komunitas masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa salah seorang dari kalian melihat kemungkaran maka rubahlah kemunkaran itu dengan tangannya” .(H.R. Muslim, al- Tirmizi, al-Nasai dan Ahmad)”. Merubah kemungkaran dengan tangan sebagaimana perintah dalam hadis ini pada dasarnya merupakan tugas yang terletak di pundak pemerintah dan instansi yang berwenang untuk merubah kemungkaran ini.
sumber: Irfan, Muhamad Nurul. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Prespektif Fikih Jinayyah. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar