Sistem Politik dan Bentuk Pemerintahan Dinasti Safawi
Dinasti Safawi merupakan Dinasti Agama karena lebih dilandasi oleh praktek syiah, dimana pemimpinnya adalah raja-raja (shah-shah) yang diberi gelar khalifah, di antara raja-raja atau shah-shahnya yang pernah memimpin adalah Safi al-Din (1252-1334 M), Sadar al-Din Musa (1334-1399 M), Khawaja Ali (1399-1427 M), Ibrahim (1427-1447 M), Juneid (1447-1460 M), Haidar (1460-1494 M), Ali (1494-1501 M), Ismail I (1501-1524 M), Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), Muhammad Khudabanda (1577-1587 M), Abbas I (1588-1628 M), Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732), Abbas II (1722-1732 M), Abbas III (1732-1736 M).
Raja yang dianggap paling berjasa dalam memulihkan kebesaran kerajaan Safawi sekaligus membawanya ke puncak kemajuan adalah Shah Abbas (1588-1629). Langkah awal yang dipilihnya adalah rekontruksi tentara dengan menghilangkan dominasi pasukan Qizil-bash sebagai gantinaya ia membentuk unit pasukan berasal dari kalangan Ghulam (budak-budak) dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Thamas I di bawah pimpinan Allahberdi Khan, seorang budak Georgia yang telah masuk Islam. Kemudian mereka diangkat dalam jabatan pemerintah, baik jabatan yang pernah diduduki oleh Qizil-bash maupun jabatan penguasa di daerah-daerah.
Di samping itu, unit-unit artileri juga diorganisasi untuk memberikan kekuatan perang modern kepada tentara syah dan membuat mereka sama dengan Janissari-Janissari Usmaniyah kombinasi para budak Kaukasia dan infanter-artileri Persia ini seperti diakui lapius telah mampu memberi kekuatan militer “profesional” kepada Syah Abbas untuk kemudian mengkonsolidasi batas-batas wilayah dan membangun kekuatan internalnya. Dia (Abbas) tidak ingin terjerebab seperti pendahulunya (Ismail I).
Untuk itulah dia “kembali” kepada metode-metode timur tengah Islam abad-abad silam tentang bagaimana mengorganisasi militer Islam. Apabila kita cermati langkah Syah Abbas ini., dapat dikatakan sebagai upaya antisipatif dengan “menghilangkan” idiologi nasionalisme yang salah. Karenanya, meskipun Syah Abbas tetap mempertahankan idiologi negara, tetapi nampak lebih terbuka dan torelan seperti yang dibuktikan dengan kebijakan politik luar negeri yaitu, ia bersedia mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani yang disepakatinya pada tahun 1589 M. bahkan untuk kepentingan stabilitas kedaulatannya, perjanjian itu “dilengkapi” dengan melepaskan provinsi Azerbaijan, Gorgia, dan sebagian wilayah Luristan, serta berjanji tidak akan menghina tiga kholifah pertama (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan, ia menyarahkan saudara sepupunya Haidar Mirza, sebagai sandera di Istanbul.
Langkah ini, sepintas memang merugikan dan mengurangi kedaulatan suatu negara yang baru bangkit, akan tetapi konsesi seperti ini sebenarnya merupakan langkah yang bijaksana demi keutuhan ketahanan nasional dari pada harus berseteru dengaa kekuasaan lain yang memang jauh lebih kuat. Barang kali dalam pertimbangan Syah Abbas, lebih baik mengalah untuk sementara waktu demi kemenangan jangka panjang.
Selanjutnya setelah Safawi memiliki kekuatan militer yang cukup kuat dan dengan bantuan nasehat militer Inggris. Sir Anthiny dan Sir Robetr Sherly. Safawi mulai membuat perhitungan ke luar. Sasaran utamanya adalah daerah-daerah yang pernah hilang dari kekuasaannya. Sebagai persiapan untuk mengamankan dan selanjutnya melangkah dalam perluasan kekuasaan terhadap daerah-daerah bagian timur, Syah Abbas memindahkan ibu kota kerajaan dari Qiswan ke Isfahat pada tahun 1597. Setahun kemudian ia melakukan serangan ke Herat, kemudian ke Marw dan Balk. Setelah diperoleh kemenangan di wilayah timur, barulah Syah Abbas mengalihkan serangannya ke wilayh barat, berhadapan dengan Turki Usmani. Perseteruan antara kedua kerajaan ini, penyababnya (antara lain) adalah perbedaan idiologi yang dianutnya, yakni kerajaan Syafawi (Syi’ah) sedangkan Turki Usmani Sunni.
Serangan ke Turki Usmani dilakukan Abbas akhir pemerintahan Sultan Muhammad III. Ketika itu Turki sedang berperang dengam Austria dan sedang mengahadapi pemberontakan Jalali di Asia Kecil. Dengan pasukan yang baru. Abbas dapat merebut Tibris Sirwan dan Baghdad. Tahun 1605-1606 menguasi kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis. Barikutnya pada bulan Maret 1622, dengan dukungan beberapa kapal Inggris, Safawi dapat menguasai kepulauan Hormuz dari tangan Portugis dan pelabuhan Gumron diubah namanya menjadi Bandar Abbas.
Masa Shah Abbas inilah dipandang sebagai puncak kerajaan Safawi. Kerajaan ini mencapai tingkat kemajuan yang disegani oleh dunia internasional. Kemajuan politiknya ditandai dengan luasnya wilayah kerajaan yang mencakup Khurasan di sebelah timur, sekitar laut Kaspia sebelah utara, Asia Kecil, Persia Barat Daya di sebelah barat dan kepulauan Hurmuz di sebelah selatan. Meskipun demikian, karena didukung dengan birokrasi profesional, maka Syah Abbas (Abbas I 1587-1629) mampu mengontrol wilayahnya dengan baik.
Dinasti Safawi merupakan Dinasti Agama karena lebih dilandasi oleh praktek syiah, dimana pemimpinnya adalah raja-raja (shah-shah) yang diberi gelar khalifah, di antara raja-raja atau shah-shahnya yang pernah memimpin adalah Safi al-Din (1252-1334 M), Sadar al-Din Musa (1334-1399 M), Khawaja Ali (1399-1427 M), Ibrahim (1427-1447 M), Juneid (1447-1460 M), Haidar (1460-1494 M), Ali (1494-1501 M), Ismail I (1501-1524 M), Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), Muhammad Khudabanda (1577-1587 M), Abbas I (1588-1628 M), Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732), Abbas II (1722-1732 M), Abbas III (1732-1736 M).
Raja yang dianggap paling berjasa dalam memulihkan kebesaran kerajaan Safawi sekaligus membawanya ke puncak kemajuan adalah Shah Abbas (1588-1629). Langkah awal yang dipilihnya adalah rekontruksi tentara dengan menghilangkan dominasi pasukan Qizil-bash sebagai gantinaya ia membentuk unit pasukan berasal dari kalangan Ghulam (budak-budak) dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Thamas I di bawah pimpinan Allahberdi Khan, seorang budak Georgia yang telah masuk Islam. Kemudian mereka diangkat dalam jabatan pemerintah, baik jabatan yang pernah diduduki oleh Qizil-bash maupun jabatan penguasa di daerah-daerah.
Di samping itu, unit-unit artileri juga diorganisasi untuk memberikan kekuatan perang modern kepada tentara syah dan membuat mereka sama dengan Janissari-Janissari Usmaniyah kombinasi para budak Kaukasia dan infanter-artileri Persia ini seperti diakui lapius telah mampu memberi kekuatan militer “profesional” kepada Syah Abbas untuk kemudian mengkonsolidasi batas-batas wilayah dan membangun kekuatan internalnya. Dia (Abbas) tidak ingin terjerebab seperti pendahulunya (Ismail I).
Untuk itulah dia “kembali” kepada metode-metode timur tengah Islam abad-abad silam tentang bagaimana mengorganisasi militer Islam. Apabila kita cermati langkah Syah Abbas ini., dapat dikatakan sebagai upaya antisipatif dengan “menghilangkan” idiologi nasionalisme yang salah. Karenanya, meskipun Syah Abbas tetap mempertahankan idiologi negara, tetapi nampak lebih terbuka dan torelan seperti yang dibuktikan dengan kebijakan politik luar negeri yaitu, ia bersedia mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani yang disepakatinya pada tahun 1589 M. bahkan untuk kepentingan stabilitas kedaulatannya, perjanjian itu “dilengkapi” dengan melepaskan provinsi Azerbaijan, Gorgia, dan sebagian wilayah Luristan, serta berjanji tidak akan menghina tiga kholifah pertama (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan, ia menyarahkan saudara sepupunya Haidar Mirza, sebagai sandera di Istanbul.
Langkah ini, sepintas memang merugikan dan mengurangi kedaulatan suatu negara yang baru bangkit, akan tetapi konsesi seperti ini sebenarnya merupakan langkah yang bijaksana demi keutuhan ketahanan nasional dari pada harus berseteru dengaa kekuasaan lain yang memang jauh lebih kuat. Barang kali dalam pertimbangan Syah Abbas, lebih baik mengalah untuk sementara waktu demi kemenangan jangka panjang.
Selanjutnya setelah Safawi memiliki kekuatan militer yang cukup kuat dan dengan bantuan nasehat militer Inggris. Sir Anthiny dan Sir Robetr Sherly. Safawi mulai membuat perhitungan ke luar. Sasaran utamanya adalah daerah-daerah yang pernah hilang dari kekuasaannya. Sebagai persiapan untuk mengamankan dan selanjutnya melangkah dalam perluasan kekuasaan terhadap daerah-daerah bagian timur, Syah Abbas memindahkan ibu kota kerajaan dari Qiswan ke Isfahat pada tahun 1597. Setahun kemudian ia melakukan serangan ke Herat, kemudian ke Marw dan Balk. Setelah diperoleh kemenangan di wilayah timur, barulah Syah Abbas mengalihkan serangannya ke wilayh barat, berhadapan dengan Turki Usmani. Perseteruan antara kedua kerajaan ini, penyababnya (antara lain) adalah perbedaan idiologi yang dianutnya, yakni kerajaan Syafawi (Syi’ah) sedangkan Turki Usmani Sunni.
Serangan ke Turki Usmani dilakukan Abbas akhir pemerintahan Sultan Muhammad III. Ketika itu Turki sedang berperang dengam Austria dan sedang mengahadapi pemberontakan Jalali di Asia Kecil. Dengan pasukan yang baru. Abbas dapat merebut Tibris Sirwan dan Baghdad. Tahun 1605-1606 menguasi kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis. Barikutnya pada bulan Maret 1622, dengan dukungan beberapa kapal Inggris, Safawi dapat menguasai kepulauan Hormuz dari tangan Portugis dan pelabuhan Gumron diubah namanya menjadi Bandar Abbas.
Masa Shah Abbas inilah dipandang sebagai puncak kerajaan Safawi. Kerajaan ini mencapai tingkat kemajuan yang disegani oleh dunia internasional. Kemajuan politiknya ditandai dengan luasnya wilayah kerajaan yang mencakup Khurasan di sebelah timur, sekitar laut Kaspia sebelah utara, Asia Kecil, Persia Barat Daya di sebelah barat dan kepulauan Hurmuz di sebelah selatan. Meskipun demikian, karena didukung dengan birokrasi profesional, maka Syah Abbas (Abbas I 1587-1629) mampu mengontrol wilayahnya dengan baik.
Taufiqurohman, H. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, Surabaya: Pustaka Islamika, 2003.
Yatim, Badri. M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, 2007.
Yatim, Badri. M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar